Otonomi Daerah dan Peluang Kerjasama
Pemerintah – Swasta
Dalam Membangunan Daerah[1]
( Syarief Aryfa’id[2])
1. Pengantar
Kebijakan otonomi daerah yang dimandatkan
dalam UU No.32/2004, merupakan hasil evuluasi kritis terhadap penyelenggaraan
sistem sentralisasi, yang dianggap sudah
tidak relevan dan tidak populis dalam menata dan menyelenggarakan sistem
pemerintahan yang demokratis. Sentralisasi penyelenggaraan pemerintahan tidak
saja berdampak pada penumpukan kekuasaan pada pemerintah pusat, akan tetapi
juga diikuti oleh dampak lanjutan yaitu soal mandegnya inovasi dan kreatifitas
pemerintahan daerah dalam menata dan membangun perekonomian daerah sesuai
dengan potensi dan urgensi masyarakat daerah.
Secara normatif, dalam klausul (menimbang)
pada UU No.32/2004 menyebutkan bahwa
penyelenggaraan pemerintahan daerah sesuai dengan amanat UUD 1945,
dimana pemerintah daerah yang mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan
menurut asas otonomi dan tugas pembantuan, diarahkan untuk mempercepat
terwujudnya kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan, pelayanan,
pemberdayaan, dan peran serta masyarakat, serta daya saing daerah dengan
memperhatikan prinsip demokrasi, pemerataan, keadilan, keistimewaan dan
kekhususan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia[3].
Isi dari klausul tesebut di atas, mengisaratkan dan bahkan memerintahkan kepada
penyelenggara pemerintah dan pemerintah daerah
bahwa kebijakan otonomi daerah bukan semata-mata soal pembagian
kekuasaan dan pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah. Hal yang substantif
yang harus diterjemahkan (baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah)
adalah soal meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Kebijakan otonomi dan
desentralisasi harus dipandang sebagai alat dan proses, dan bukan sebagai tujuan.
Lebih dari 11 tahun pelaksanaan kebijakan
otonomi daerah, banyak hal yang dapat dipelajari dan juga dievaluasi. Diantara
pelajaran penting yang dapat diextraksi untuk menjadi formulasi baru
mengejawantahkan kebijakan otonomi daerah, antaralain; Pertama, Aspek politik.
Kebijakan otonomi daerah selama kurun waktu 11 tahun lebih, cenderung
menghabiskan energi untuk penataan sistem politik, dengan berbagai varian,
yaitu pemilihan kepala daerah secara langsung, pemilihan legislatif daerah
secara langsung, konflik elit lokal dalam pilkada langsung, konflik batas
wilayah (daerah), masifisasi pemekaran wilayah, dan lain sebagainya, yang
berimbas pada dua hal, yaitu 1) terkurasnya anggaran untuk kesejahteraan
masyarakat, 2) mandegnya inovasi dan
produktifitas pembangunan daerah.
Kedua, Aspek Ekonomi. Kebijakan otonomi
daerah dan pemekaran wilayah idealnya mendorong efisiensi dan efektifitas penyelenggaraan pemerintah dan pemerintah
daerah karena telah didukung oleh pelimpahan berbagai kewenangan (politik) strategis,
dengan asumsi sederhana, otonomi diterjemahkan sebagai “bypass dan jalan tol”
yaitu mekanisme yang tepat untuk memperpendek proses politik-kebijakan,
memperpendek prosedur pelayanan publik (berbagai aspek) kepada masyarakat. Akan
tetapi yang realitas empirik justru menceritakan lain. Seperti yang dilansir
oleh Media Indonesia pada bulan April, yang menyebutkan bahwa pemerintah daerah
gagal menjalankan mandat konstitusi dan mandat UU No.32/2004 dalam membangun
dan mensejahterakan masyarakat di daerah. Semangat otonomi dan pemekaran wilayah dalam
kurun waktu 1999-2009 hanya menjadi komodite politik, dan arena konsumsi dan
kontestasi ekonomi para elit politik.
Data hasil evaluasi tentang
penyelenggaraan kebijakan otonomi daerah dan pemekaran wilayah oleh Departemen
Dalam Negeri benar-benar “mengerikan”. Dari 7 provinsi, 164 kabupaten, dan 34
kota hasil pemekaran selama 1999-2009, hanya dua kota yang memperoleh skor di
atas 60 dari nilai tertinggi 100. Itulah Kota Banjar Baru di Kalimantan Selatan
dan Kota Cimahi di Jawa Barat. Sisanya
mendapat skor merah untuk indikator kesejahteraan masyarakat, pemerintahan yang
baik, pelayanan publik, dan daya saing. Sejumlah kota dan kabupaten bahkan
memperoleh angka nol untuk keempat indikator itu (Media Indonesia, 28 April,
2011).
Dari
sekian ratus daerah yang memiliki kewenangan otonom, hanya dua daerah yang dianggap
berhasil melakukan inovasi dan kreatifitas pembangunan daerah. sungguh sebuah
ironisme dan juga paradokos desentralisasi[4].
Ada dua point penting yang dapat dipelajari dari daerah tersebut dalam menata
dan membangun daerahnya, yaitu 1) kedua
pemimpin daerah tersebut memiliki kemauan dan keberanian politik yang baik
(political well) dalam membangun daerahnya, 2) kedua daerah tersebut melakukan
banyak eksperimen positif terkait berbagai inovasi dan kreatifitas untuk
membangun daerahnya, sesuai dengan latar belakang masalah yang dihadapi dan
mengoptimalkan berbagai potensi yang dimilikinya untuk meningkatkan
kesejahteraan masyarakatnya.
Salah satu strategi yang digunakan oleh
kedua daerah tersebut di atas dalam membangun daerahnya adalah terletak pada
kemampuan membangun jejaring kerjasama yang efektif dan produktif antara
pemerintah daerah dan swasta sebagai solusi alternatif meningkatkan
kesejahteraan rakyat. Kabupaten Banjar Baru misalnya, kemampuan pemimpin daerah dalam
menjalin kerjasama dengan investor (swasta) dalam mengembangkan konsep pelayanan
publik, serta optimalisasi pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam, telah
mengangkat “derajat” daerah tersebut sebagai salah satu daerah yang berhasil
(dalam konteks inovasi pembangunan daerah). Kita ketahui, otonomi daerah dalam menyelenggarakan pemerintahannya menganut asas
desentralisasi, dekonsentrasi, dan tugas pembantuan. Dengan asas desentralisasi
kewenangan Pemerintah diserahkan kepada daerah otonom dan daerah otonom diberi
kewenangan untuk mengatur dan mengurus kewenangannya sesuai kepentingan
masyarakat. Dalam menyelenggarakan pemerintahannya, daerah diberi kewenangan
untuk melakukan kerja sama dengan daerah lain dan pihak ketiga.
Pertanyaan yang dapat diajukan kemudian
adalah, bagaimana konsep dan model kerjasama
pemerintah-swasta yang dapat mendukung pembangunan dan peningkatan
kesejahteraan masyarakat di daerah di era otonomi daerah?
Dalam menelaah persoalan tersebut di atas,
penulis merujuk pada beberapa kerangka teoritis, yaitu; konsep kerjasama
pemerintah daerah, konsep kerjasama pemerintah daerah-swasta.
2. Pembahasan
2.1. Memahami Konsep Kerjasama Pemerintah Daerah
PP No 50 Tahun 2007 tentang Tata Cara
pelaksanaan Kerjasama Daerah merupakan hasil tindaklanjut atas kebijakan UU No.
32 Tahun 2004 (pasal 197). Pada Bab I Pasal 1 (PP No 50/2007) tersebut
menyebutkan kerja sama daerah adalah kesepakatan
antara gubernur dengan gubernur atau gubernur dengan bupati/wali kota atau
antara bupati/wali kota dengan bupati/wali kota yang lain, dan atau gubernur,
bupati/wali kota dengan pihak ketiga, yang dibuat secara tertulis serta
menimbulkan hak dan kewajiban.
Kerja sama daerah merupakan
sarana untuk lebih memantapkan hubungan dan keterikatan daerah yang satu dengan
daerah yang lain dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia,
menyerasikan pembangunan daerah, mensinergikan potensi antardaerah dan/atau
dengan pihak ketiga serta meningkatkan pertukaran pengetahuan, teknologi dan
kapasitas fiskal. Melalui kerja sama daerah diharapkan dapat mengurangi
kesenjangan daerah dalam penyediaan pelayanan umum khususnya yang ada di
wilayah terpencil, perbatasan antardaerah dan daerah tertinggal.
Kerja sama daerah dimaksudkan
untuk meningkatkan kesejahteraan dan sumber pendapatan asli daerah. Oleh karena
itu, kerja sama daerah yang membebani Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah.
Ada 3 point penting dalam
konsep kerjasama, yaitu, pertama adanya pihak ketiga, baik itu Departemen/Lembaga Pemerintah Non Departemen
atau sebutan lain, perusahaan swasta yang berbadan hukum, Badan Usaha Milik
Negara, Badan Usaha Milik Daerah, Koperasi, Yayasan, dan lembaga di dalam
negeri lainnya yang berbadan hukum.
Kedua, adanya badan kerja sama
yaitu suatu forum untuk melaksanakan kerja sama yang keanggotaannya merupakan
wakil yang ditunjuk dari daerah yang melakukan kerja sama. Ketiga, adanya Surat
Kuasa, yaituh naskah dinas yang dikeluarkan oleh kepala daerah sebagai alat
pemberitahuan dan tanda bukti yang berisi pemberian mandat atas wewenang dari
kepala daerah kepada pejabat yang diberi kuasa untuk bertindak atas nama kepala
daerah untuk menerima naskah kerja sama daerah, menyatakan persetujuan
pemerintah daerah untuk mengikatkan diri pada kerja sama daerah, dan/atau
menyelesaikan hal-hal lain yang diperlukan dalam pembuatan kerja sama daerah.
Bila mengaju pada PP
No.50/2007, maka ada 11 prinsip kerjasama daerah yang harus di”patuhi”, yaitu: 1). efisiensi[5], b). efektivitas[6]; 3) sinergi[7]; 4) saling menguntungkan[8]; 5) kesepakatan bersama[9]; 6) itikad baik[10]; 7) mengutamakan
kepentingan nasional dan keutuhan wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia[11]; 8) persamaan kedudukan[12]; 9) transparansi[13]; 10) keadilan[14]; dan 11) kepastian hukum[15].
Dalam konsep kerjasama
pemerintah daerah, terdapat subjek dan
kerjasama. Yang menjadi Subjek Kerja Sama dalam kerja sama daerah
meliputi: a). gubernur; b). bupati; c). wali kota; dan d). pihak ketiga. Sedangkan
yang menjadi Objek Kerja Sama adalah
seluruh urusan pemerintahan yang telah menjadi kewenangan daerah otonom dan
dapat berupa penyediaan pelayanan publik.
2.2. Bentuk dan Tata Cara Kerja Sama Daerah
Kerja
sama daerah dituangkan dalam bentuk perjanjian kerja sama. Perjanjian kerja
sama daerah dengan pihak ketiga wajib memperhatikan prinsip kerja sama dan
objek kerja sama[16]
. Dalam melakukan kerjasama, terdapat tata cara kerja sama daerah dilakukan
dengan:
a. Kepala daerah atau salah satu
pihak dapat memprakarsai atau menawarkan rencana kerja sama kepada kepala
daerah yang lain dan pihak ketiga mengenai objek tertentu.
b. Apabila para pihak sebagaimana
dimaksud pada huruf a menerima, rencana kerja sama tersebut dapat ditingkatkan
dengan membuat kesepakatan bersama dan menyiapkan rancangan perjanjian kerja
sama yang paling sedikit memuat:
1. subjek kerja sama;
2. objek kerja sama;
3. ruang lingkup kerja sama;
4. hak dan kewajiban para pihak;
5. jangka waktu kerja sama;
6. pengakhiran kerja sama;
7. keadaan memaksa; dan
8. penyelesaian perselisihan.
9. Kepala daerah dalam menyiapkan
rancangan perjanjian kerja sama melibatkan perangkat daerah terkait dan dapat
meminta pendapat dan saran dari para pakar, perangkat daerah provinsi, Menteri
dan Menteri/Pimpinan Lembaga Pemerintah Non Departemen terkait.
Pelaksanaan
perjanjian kerja sama dapat dilakukan oleh satuan kerja perangkat daerah. dimana
pelaksanaan kerjasama tersebut harus mendapatkan persetujuan DPRD. Seperti yang
disebutkan pada pasal 9 (PP 50/2007) bahwa rencana kerja sama daerah yang
membebani daerah dan masyarakat harus mendapat persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah dengan ketentuan apabila biaya kerja sama belum
teranggarkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran
berjalan dan/atau menggunakan dan/atau memanfaatkan aset daerah.
Kerja
sama daerah yang dilakukan dalam rangka pelaksanaan tugas dan fungsi dari
satuan kerja perangkat daerah dan biayanya sudah teranggarkan dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah tahun anggaran berjalan tidak perlu mendapat
persetujuan dari Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Untuk mendapatkan persetujuan dari Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah terhadap kerja sama daerah yang membebani daerah dan
masyarakat, gubernur/bupati/wali kota menyampaikan surat dengan melampirkan
rancangan perjanjian kerja sama kepala daerah kepada Ketua Dewan Perwakilan
Rakyat Daerah dengan memberikan penjelasan mengenai: tujuan kerja sama; objek
yang akan dikerjasamakan; hak dan kewajiban meliputi:
1.
besarnya kontribusi Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah yang
dibutuhkan untuk pelaksanaan kerja sama; dan
2.
keuntungan yang akan diperoleh berupa barang, uang, atau jasa.
3.
jangka waktu kerja sama;
dan
4.
besarnya pembebanan yang dibebankan kepada masyarakat dan jenis
pembebanannya.
2.3.
Hasil Kerjasama:
Hasil kerja sama daerah dapat
berupa uang, surat berharga dan aset, atau nonmaterial berupa keuntungan. Hasil
kerja sama daerah yang menjadi hak daerah yang berupa uang, harus disetor ke
kas daerah sebagai pendapatan asli daerah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan. Hasil kerja sama daerahyang menjadi hak daerah yang berupa
barang, harus dicatat sebagai aset pada pemerintah daerah yang terlibat secara
proporsional sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Kerjasama pemerintah daerah,
juga memiliki berbagai persoalan atau perselisihan, oleh sebab itu, dalam PP
No. 50/2007 juga mengatur tentang penyelesaian perselisihan. Apabila kerja sama
antardaerah dalam satu provinsi terjadi perselisihan, dapat diselesaikan dengan
cara: musyawarah; melalui penerbitan Surat Keputusan Gubernur. Keputusan
Gubernur sebagaimana dimaksud bersifat final dan mengikat. Apabila kerja sama
daerah provinsi dengan provinsi lain atau antara provinsi dengan kabupaten/kota
dalam 1 (satu) provinsi atau antara daerah kabupaten/kota dengan daerah
kabupaten atau daerah kota dari provinsi yang berbeda terjadi perselisihan,
dapat diselesaikan dengan cara : musyawarah; dan penerbitan Surat Keputusan
Menteri.
Apabila
kerja sama daerah dengan pihak ketiga terjadi perselisihan, diselesaikan sesuai
kesepakatan penyelesaian perselisihan yang diatur dalam perjanjian kerja sama.
Apabila penyelesaian perselisihan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak
terselesaikan, perselisihan diselesaikan sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
2.4.
Perubahan Kerjasama Daerah
Para
pihak dapat melakukan perubahan atas ketentuan kerja sama daerah. Mekanisme perubahan atas ketentuan kerja sama
daerah diatur sesuai kesepakatan masing-masing pihak yang melakukan kerja sama.
Perubahan ketentuan kerja sama daerah dituangkan dalam perjanjian kerja sama
setingkat dengan kerja sama daerah induknya.
Berakhirnya
kerjasama daerah apabila:
a) terdapat kesepakatan para
pihak melalui prosedur yang ditetapkan dalam perjanjian;
b) tujuan perjanjian tersebut
telah tercapai;
c) terdapat perubahan mendasar
yang mengakibatkan perjanjian kerja sama tidak dapat dilaksanakan;
d) salah satu pihak tidak
melaksanakan atau melanggar ketentuan perjanjian;
e) dibuat perjanjian baru yang
menggantikan perjanjian lama;
f) muncul norma baru dalam
peraturan perundang-undangan;
g) objek perjanjian hilang; h) terdapat
hal-hal yang merugikan kepentingan nasional; atau
h) berakhirnya masa perjanjian.
Kerja
sama daerah dapat berakhir sebelum waktunya berdasarkan permintaan salah satu
pihak dengan ketentuan: menyampaikan secara tertulis inisiatif pengakhiran
kerja sama kepada pihak lain. pihak yang
mempunyai inisiatif menanggung resiko baik finansial maupun resiko lainnya yang
ditimbulkan sebagai akibat pengakhiran kerja sama. Pengakhiran kerja sama ini
tidak akan mempengaruhi penyelesaian objek kerja sama yang dibuat dalam
perjanjian atau dalam pelaksanaan perjanjian kerja sama, sampai
terselesaikannya objek kerja sama tersebut. Hal lain yang perlu diingat bahwa kerja
sama daerah tidak berakhir karena pergantian pemerintahan di daerah.
Dalam rangka membantu kepala
daerah melakukan kerja sama dengan daerah lain yang dilakukan secara terus
menerus atau diperlukan waktu paling singkat 5 (lima) tahun, kepala daerah
dapat membentuk badan kerja sama. Badan kerja sama sebagaimana dimaksud bukan
perangkat daerah. Pembentukan dan susunan organisasi badan kerja sama
sebagaimana dimaksud di atas ditetapkan dengan keputusan bersama kepala daerah.
Badan kerja sama mempunyai
tugas: 1) membantu melakukan pengelolaan, monitoring dan evaluasi atas
pelaksanaan kerja sama; 2) memberikan masukan dan saran kepada kepala daerah
masing-masing mengenai langkah-langkah yang harus dilakukan apabila ada
permasalahan; dan 3) melaporkan pelaksanaan tugas kepada kepala daerah
masing-masing. Biaya yang diperlukan dalam pelaksanaan tugas badan kerja sama
menjadi tanggung jawab bersama kepala daerah yang melakukan kerja sama.
3.
Kerjasama Pemerintah Daerah
dan Swasta
Dalam tataran
akademik, dewasa ini ada trend perubahan dari konsepsi government kepada
governance. Pada konsep “government”, pemerintah ditempatkan sebagai pelaku
utama pembangunan, baik pada tahap perencanaan, pelaksanaan, serta evaluasi.
Pemerintah juga menjadi penyandang dana terbesar sekaligus sebagai penerima
benefit (beneficiary) terbesar. Dengan berkembangnya
paradigma governance, pola hubungan antar sektor (publik – privat)
dan juga hubungan Pusat – Daerah berubah menjadi lebih sejajar (egaliter) dan
demokratis. Pada pola seperti itu, penyelenggaraan jasa layanan atau fungsi
pemerintahan tertentu tidak lagi di dominasi oleh satu pihak (cq.
Pemerintah). Ini berarti pula bahwa proses kemitraan dan kerjasama harus
lebih digalakkan. Adapun pertimbangan atau alasan-alasan perlunya
memperkuat kerjasama publik – privat, paling tidak dapat dilihat dari 3
dimensi sebagai berikut:
Pertama, alasan
politis: menciptakan pemerintah yang demokratis (egalitarian
governance) serta untuk mendorong perwujudann good governance and
good society. Kedua, Alasan administratif: adanya
keterbatasan sumber daya pemerintah (government resources), baik dalam
hal anggaran, SDM, asset, maupun kemampuan manajemen. Ketiga, Alasan ekonomis:
mengurangi kesenjangan (disparity) atau ketimpangan (inequity),
memacu pertumbuhan (growth) dan produktivitas, meningkatkan kualitas
dan kontinuiitas (quality and continuity), serta mengurangi
resiko[18].
3.1. Memahami
Kerjasama Pemerintah-Swata dan Implikasi Kelembagaan
Political will pemerintah (daerah) untuk memperluas
desentralisasi internal serta mengembangkan kerjasama dengan masyarakat dan
swasta akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung pada format lembaga
pelayanan publik. Hal ini sangatlah logis, mengingat setiap pengurangan peran /
fungsi pemerintah di satu pihak, dan penguatan peran / fungsi swasta atau
masyarakat di pihak lain, secara otomatis menuntut dilakukannya restrukturisasi
kelembagaan. Dengan demikian, kelembagaan atau perangkat daerah konvensional
yang kita kenal selama ini berdasarkan UU Nomor 32 Tahun 2004, boleh jadi
menjadi kurang relevan dengan tuntutan riil di lapangan.
Dalam hal ini,
model alternatif kelembagaan sebagai implikasi dari pengembangan desentralisasi
dan kerjasama publik dan privat (public – private partnership) meliputi bentuk-bentuk
sebagai berikut:
1) Lembaga
Semi-Publik/Semi-Privat atau Government-Initiated Private Management.
Pengertian
lembaga semi publik atau semi-privat disini dimaksudkan sebagai sebuah model
kerjasama dimana sektor publik (pemerintah daerah) dan sektor privat (swasta)
memiliki kedudukan dan peran yang berbeda, namun sinergis, dalam pengelolaan
suatu urusan atau asset tertentu. Biasanya, pemerintah memegang fungsi regulasi
dan pengawasan, sementara investor menyelenggarakan fungsi-fungsi perencanaan,
pelaksanaan dan pembiayaannya.
Contoh konkrit tentang
hal ini adalah Manajemen “Kya-Kya Kembang Jepun” di Surabaya, sebuah arena
pusat jajan yang sekaligus berfungsi sebagai wisata budaya di tengah kota. Kawasan
Kya-kya ini dirancang pada jalan sepanjang 730 meter, lebar 20 meter, menampung
200 pedagang (makanan dan nonmakanan), 2.000 kursi, serta 500 mejamakan.
Sebelum diterapkan, ide ini didahului oleh berbagai macam studi secara terpadu
yang mencakup studi keamanan, studi perilaku warga kota, studi parkir dan transportasi,
studi budaya (arsitektur setempat, genius loci), studi kelayakan ekonomis
dan teknis seperti sistem kebersihan, utilitas (saluran air, drainage,
listrik, sistem suara, sampah), pemanfaatan SDM setempat, kerja sama dengan
warga, LSM, potensi-potensi wisata (bangunan kuno, monumen bersejarah), dan
sebagainya.
Dampaknya cukup
luar biasa. Disamping merangsang pertumbuhan ekonomi lokal dan ekonomi
kerakyatan, juga menjadi obyek wisata baru dan ajang pelestarian budaya.
Manajemen Kya-kya juga menghasilkan efek sosial seperti perayaan Hari Anak
Nasional dengan mengundang 300 anak yatim piatu untuk makan malam bersama,
berpesta bersama 300 pengamen dalam acara "Festival Ngamen Tjap Kya-kya
Kembang Djepoen" selama sebulan, memelihara monumen nasional Jembatan
Merah, serta memberi tali asih kepada para pejuang veteran (Pikiran Rakyat,
16-5-2004).
Bagi Pemkot
Surabaya sendiri, kehadiran Manajemen Kya-kya memberi manfaat yang signifikan.
Disamping menjadi sumber pendapatan daerah melalui penarikan retribusi, urusan
kebersihan dan keamanan di kawasan Kya-kya juga ditangani oleh Manajemen
Kya-kya, sehingga beban Pemkot menjadi jauh berkurang. Disamping itu,
pengelolaan yang professional diharapkan dapat menciptakan mutu pelayanan yang
jauh lebih baik dan dapat dipertanggungjawabkan. Dari gambaran diatas, tidaklah
berlebihan kiranya untuk memasukkan model pengelolaan kawasan seperti Manajemen
Kya-kya sebagai salah satu Best Practices dalam administrasi publik.
Model pengelolaan kawasan oleh manajemen
swasta yang dibimbing oleh regulasi Pemda seperti ini sesungguhnya bisa
diujicobakan di daerah lain. Di Kota Bandung, misalnya, terdapat banyak sekali
sentra-sentra industri kecil yang cukup spesifik seperti Cibaduyut (sepatu dan
tas), Cihampelas (pakaian), Cigondewah (kain). Di Sidoarjo terdapat kawasan
Tunggul Angin (tas dan sepatu), sementara di Yogyakarta terdapat kawasan
Malioboro (kerajinan dan makanan), Kasongan (gerabah), dan sebagainya. Jika
saja kawasan-kawasan tadi dikelola secara baik oleh sebuah organisasi
professional (professional institution), dapat diyakini bahwa asumsi mendongkrak
produktivitas kawasan binaan dan memperbaiki pelayanan umum khususnya bagi
warga yang tinggal di sekitar kawasan binaan, akan tercapai.
2) Pengelolaan
Bersama (Joint Management).
Desentralisasi
luas yang diintrodusir oleh UU Nomor 22/1999 ataupun UU Nomor 32/ 2004 ternyata
sering membawa permasalahan atau konflik antar daerah. Beberapa konflik yang
sempat muncul di media antara lain:
·
Konflik
antara Pemprov DKI dengan Kota Bekasi menyangkut TPA Bantargebang, serta antara
Kota Bogor dan Kabupaten Bogor menyangkut TPA Galuga dan terminal Bubulak (Pikiran
Rakyat, 12 Juni 2002).
·
Konflik
antara Kota Bogor ke Kabupaten Bogor menyangkut kebijakan perluasan wilayah.
Pihak Kabupaten ngotot mempertahankan assetnya seperti gedung desa beserta
tanah kas desa (bengkok) yang ditarik masuk wilayah Kota (Pikiran Rakyat,
12 Juni 2002).
·
Konflik
antara Pemprov Jawa Barat (cq. Perda No. 23/2000 tentang Penebangan Kayu dan
Perda No. 24/2000 tentang Usaha Pengolahan Teh) dengan Kabupaten Cianjur,
Garut, Camis, dan Tasikmalaya yang menerbitkan Perda yang mengatur hal yang
sama (Pikiran Rakyat, 19 Juni 2002).
·
Konflik
antara Pemprov Jawa Tengah dengan Kota Semarang dalam pengelolaan Sistem Polder
Kota Lama, khususnya kolam retensi didepan Stasiun KA Tawang yang menimbulkan
bau busuk (Kompas, 24 Juni 2002).
Untuk
mengantisipasi munculnya konflik yang makin beragam dan makin kompleks, maka
saling pengertian antar daerah melalui penguatan kerjasama regional sangat diperlukan.
Dan untungnya, kesadaran untuk membangun kerjasama antar daerah melalui sistem
pengelolaan bersama (joint management) ini sudah mulai nampak, antara
lain melalui kesepakatan antara beberapa Kepala Daerah di wilayah tertentu, yakni:
Surat Keputusan Bersama (SKB) lima Bupati, yakni Bupati Banjarnegara, Purbalingga,
Banyumas, Cilacap, dan Kabumen pada tanggal 28 Juni 2003 tentang Pembentukan
Lembaga Kerjasama Regional Management yang diorientasikan
pada Regional Marketing yang diberi nama “Barlingmascakeb” (lihat di http://www.barlingmascakeb.com/)
SKB Walikota Surakarta, Bupati
Boyolali, Bupati Sukoharjo, Bupati Karanganyar, Bupati Wonogiri, Bupati Sragen
dan Bupati Klaten tentang Kerjasama Antar
Daerah Surakarta, Boyolali, Sukoharjo, Karanganyar, Wonogiri, Sragen dan Klaten. Bahkan sebagai tindak lanjut
dari SKB ini, telah dikeluarkan Keputusan
Koordinator Badan Kerjasama Antar Daerah Subosuka Wonosraten No. 136/06/BKAD/VII/02 tentang Rincian Tugas
Sekretariat Badan Kerjasama Antar Daerah
SubosukaWonosraten
Meskipun
demikian perlu ditekankan bahwa kerjasama regional atau pengelolaan bersama suatu
urusan tidak selamanya harus terdiri dari banyak daerah dan meliputi semua hal. Bisa jadi, joint management hanya terjadi
antara 2 daerah otonom dan untuk satu urusan
tertentu. Sebagai contoh, Pemprov DKI dan Pemkot Bekasi bekerjasama hanya dalam masalah persampahan dan TPA
Bantargebang. Demikian juga antara Pemkot
Bandung dan Pemkot Cimahi, keduanya harus bekerjasama dan memiliki kesepakatan (MoU) dalam pengelolaan sampah kota
dan pengaturan TPA Leuwigajah.
3) Kawasan Otorita
Pengelolaan suatu kewenangan
pemerintahan berbasis otoritas khusus (authority-based management)
sesungguhnya merupakan sebuah model yang lumrah dan sering diyakini memiliki
efektivitas tinggi. Hanya saja dalam konteks Indonesia, penetapan kawasan
otorita selama ini masih menjadi wewenang pemerintah Pusat, sebagaimana
terlihat dalam pembentukan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam,
Otorita Jatiluhur, dan sebagainya. Meskipun demikian, pembentukan badan atau
lembaga otorita ini dapat dilakukan di daerah yang memiliki kawasan-kawasan
khusus seperti pelabuhan, bandar udara, industri (industrial estate),
perkebunan, pertambangan, kehutanan, pariwisata, jalan bebas hambatan dan
sebagainya. Dan kenyataannya, kawasan-kawasan khusus seperti itu sangat banyak
yang berlokasi di wilayah Kabupaten / Kota. Pengelolaan kawasan khusus oleh
unit kerja konvensional yang terkesan asal-asalan, hanya akan menyebabkan fungsi
pengembangan kawasan dan pelayanan umum menjadi merosot mutunya. Sebagai
contoh, potensi wisata pantai Pangandaran di Ciamis sesungguhnya tidak kalah
dengan Bali, namun sayang berbeda dalam profesionalisme pengelolaannya. Pemkab
Ciamis nampaknya cukup puas dengan kondisi Pangandaran saat ini, sehingga tidak
terlihat ada upaya konkrit untuk mempromosikannya. Hal ini bisa dilihat dari
tidak adanya fasilitas wisata bertaraf internasional seperti rumah sakit dan
super market modern, tidak lengkap dan tidak efektifnya sistem transportasi (darat,
laut dan udara), kurangnya dukungan aspek keamanan (polisi, SAR), serta kurang
tersedianya media promosi skala nasional dan global. Jika saja Pangandaran dikelola
oleh sebuah badan otorita, sangat mungkin kawasan ini akan berkembang maksimal,
sehingga menguntungkan masyarakat pengguna jasa wisata dan pemerintah daerah
setempat secara timbal balik.
Sebagai
ilustrasi lain dapat dikemukakan disini bahwa pasca pemberlakuan UU Nomor 22 Tahun 1999, terjadi konflik pengelolaan
pelabuhan antara daerah-daerah pantai seperti
Cilacap, Cilegon dan Gresik dengan Pemerintah Pusat cq. Departemen Perhubungan dan PT Pelindo. Daerah menuntut agar
Pemerintah Pusat menyerahkan pengelolaan
pelabuhan, walaupun Daerah sendiri belum memiliki infrastruktur yang memadai untuk mengambil alih manajemen pelabuhan.
Dalam kasus demikian, perlu dipikirkan adanya
“desentralisasi” dari BUMN kepada unit kerja di daerah
baik BUMD maupun Badan Otorita Daerah. Jika model desentralisasi seperti
ini dapat disepakati, maka infrastruktur yang
dimiliki PT Pelindo (SDM, sistem informasi
kepelabuhan, dan sumber daya lainnya) akan berubah status dan ditransfer menjadi asset daerah.
4) Tim
/ Komisi
Model tim atau
kepanitiaan sesungguhnya juga merupakan fenomena yang sangat lumrah dalam
administrasi negara modern. Bahkan harus diakui bahwa “tim” sering kali dapat
bekerja lebih cepat dan efisien dari pada lembaga induk yang membentuknya.
Disamping itu, “tim” lebih bersifat fungsional sehingga mampu melepaskan diri
dari jeratan-jeratan dan kendala struktural yang menjadi ciri khas dari sistem
birokrasi publik. Namun jika tradisi membentuk satu tim untuk satu kasus (one
team one case) ini berkelanjutan dan berlebihan, dalam kaca mata administrasi
negara jelas merupakan suatu bentuk dari kegagalan birokrasi publik (bureaucracy
failure), atau dapat dipandang juga sebagai mal-administrasi.
Karakteristik
beserta keuntungan dan kerugian dari masing-masing model kelembagaan pengelola
layanan publik diatas dapat dilihat dalam matriks dibawah ini.
Pilihan
Model Kelembagaan Pengelola Layanan Publik dan Karakteristiknya
(sumber: Tri Widodo W. Utomo, SH., MA, Materi
disampaikan pada “Diklat Manajemen Pemerintahan” bagi Aparat Pemerintah Daerah
Kabupaten Bandung di Lembang, 24 Juni 2004)
3.2. Model-Model
Kelembagaan Kerjasama Sektor Layanan Publik
Dari perspektif administrasi publik,
program kerjasama dengan swasta dan / atau masyarakat
dapat dilakukan paling tidak dengan 2 (dua) metode, yakni teknik penalaran strategis dalam penetapan kebijakan melalui
pengkajian pilihan-pilihan strategis (prior option review), serta teknik analisis barang publik dan
barang privat (public and private goods).
1. Metode Prior Option Review (POR)
Metode prior option review ini
secara garis besar bertujuan untuk menentukan apakah fungsi-fungsi atau
jenis-jenis urusan pelayanan umum tertentu yang selama ini dibiayai dan
diselenggarakan oleh pemerintah masih diperlukan atau tidak; dan apakah dengan
demikian penyelenggaraan pelayanan umum tersebut perlu dipertahankan, atau sebaiknya
dialihkan saja kepada pihak swasta (masyarakat). Adapun hasil dari analisis POR
ini berupa model-model restrukturisasi pemerintahan atau model-model kemitraan/
kerjasama sebagai berikut:
1) Kebijakan Penghapusan: analisa
penalaran strategis dimulai dengan analisis dan identifikasi jenis-jenis
pelayanan/jasa yang diselenggarakan dan dibiayai oleh pemerintah. Dari analisis
ini dapat disimpulkan apakah pelayanan atau jasa-jasa tersebut masih dibutuhkan
atau tidak. Jika tidak, maka instansi-instansi pemerintah yang menyelenggarakan
pelayanan tersebut dapat dipertimbangkan untuk dihapus
2)
Swastanisasi:
jika jenis-jenis pelayanan tersebut masih dibutuhkan, pertanyaan selanjutnya
adalah apakah pemerintah masih harus mendanai pelayanan tersebut. Jika tidak,
maka jenis-jenis pelayanan/jasa tersebut dapat dipertimbangkan untuk diswastanisasi.
Pertimbangan kemungkinan swastanisasi pelayanan tertentu antara lain ada
tidaknya kegagalan pasar (Market failures).
3)
Kemitraan:
apabila pemerintah masih berkepentingan menyelenggarakan pelayanan umum
tertentu, namun dana atau anggaran pemerintah terbatas, pertanyaan selanjutnya
diajukan untuk mencari kemungkinan mengikutsertakan dana pihak swasta/masyarakat
dalam penyediaan pelayanan/jasa tersebut. Pengikutsertaan dana pihak swasta ini
bisa dilakukan dalam bentuk swadaya masyarakat, BOT atau BOOT dan sebagainya
yang dikenal dengan istilah Private Funding Initiatives (PFI). Contoh
inisiatif swasta dalam bidang pelayanan umum antara lain: Pembangunan dan
Pengelolaan Jalan Tol Jakarta-Cikampek; Angkutan Umum Bis antar kota dan antar
Propinsi, angkutan umum perkotaan dan perdesaan; Rumah sakit swasta, Sekolah-sekolah
dan Perguruan Tinggi swasta; Penyediaan dan pembangunan Perumahan oleh swasta;
Panti asuhan anak-anak terlantar dan Rumah Jompo yang diselenggarakan oleh
badan-badan amal swasta; dan lalin-lain.
4)
Kontrak
Kerja / Karya: apabila dana/anggaran pemerintah masih dibutuhkan, selanjutnya
dipertanyakan juga apakah pelaksanaan penyelenggaraan pelayanan umum tersebut
juga harus dilakukan oleh pemerintah. Jika tidak, makapelayanan/jasa pemerintah
tersebut dapat dipertimbangkan untuk dikontrakkan Model kebijaksanaan ini telah
lama diterapkan di Indonesia, terutama untuk pekerjaan konstruksi dan pengadaan
barang dan jasa bagi pemerintah. Strategi ini bisa dikembangkan untuk
pelaksanaan pekerjaan pelayanan umum bagi masyarakat oleh kontraktor swasta;
contohnya: PT SGS atau PT SI melaksanakan kegiatan survey kepabeanan
berdasarkan kontrak dengan Ditjen Bea dan Cukai; Perusahaan cleaning service
untuk pemeliharaan gedung-gedung perkantoran pemerintah; Perusahaan catering
swasta untuk melayani makan siang PNS; dan lain-lain.
5)
Market
Testing: jika ternyata terdapat keraguan pemerintah atas kemampuan
sendiri untuk menyelenggarakan jenis pelayanan umum tertentu secara efisien dan
efektif, maka dapat dipertimbangkan pola “Uji Pasar” (Market testing) melalui
proses tender kompetitif antara team intern (In-house bidder) dengan
pihak swasta atau team kerja dari unit departemen/instansi lainnya. Konsep ini
masih baru bagi Indonesia, khususnya mengenai kebijaksanaan In-house bidder,
yaitu kelompok kerja intern departemen atau lembaga pemerintahan tertentu yang
dibentuk untuk mengikuti tender kompetitif dalam rangka memperoleh kontrak
kerja penyelenggaraan pelayanan umum tertentu. Kelompok ini jika berhasil memenangkan
tender akan bertindak sebagi kontraktor dan status kepegawaian para anggotanya
akan dialihkan menjadi swasta. Hak-hak kepegawaian mereka selanjutnya bukan
lagi menjadi tanggungan pemerintah, tetapi menjadi tanggungan organisasi
kelompok yang bersangkutan dan menjadi beban biaya yang tercantum dalam kontrak
kerja. Sedangkan hak pensiun dan jaminan sosial lainnya akan dialihkan ke
Perusahaan Swasta di bidang itu. Kebijaksanaan yang hampir mirip "Market
Testing" adalah pembentukan unit-unit swadana berdasarkan Keppres Nomor 38
tahun 1991 untuk menyelenggarakan pelayanan umum kepada masyarakat dengan
menerapkan konsep "Self Funding Institution" dalam penyelenggaraan
pelayanan umum, misalnya: Pelayanan Rawat Inap kelas Utama dan Kelas I di Rumah
Sakit Umum Pemerintah di Pusat maupun di Daerah; Penyelenggaraan Pendidikan
Tinggi di Universitas Negeri; dan sebagainya.
6) Program Efisiensi Internal: setelah
berbagai pertimbangan tersebut dilakukan ternyata dinilai lebih baik jika
penyelenggaraan pelayanan umum tertentu itu tetap dilaksanakan oleh pemerintah
pusat ataupun oleh pemerintah daerah; maka unit kerja yang bersangkutan harus
melaksanakan program efisiensi, melalui misalnya: kegiatan Benchmarking,
Business Process Reengineering (BPR), Restrukturisasi, Rasionalisasi,
Standarisasi Kinerja dan Pola Evaluasi / Penilaiannya, dan sebagainya.
Pilihan
kebijakan tersebut didasarkan pada prinsip bahwa kinerja pelayanan umum (efisiensi,
kualitas, efektifitas, maupun produktivitasnya) dapat dicapai atau ditingkatkan
melalui pendekatan mekanisme dan kompetisi. Sedangkan pada pilihan kebijakan
nomor 6, upaya peningkatan kinerja pelayanan umum dilakukan melalui program
efisiensi intern dengan penyempurnaan dan perubahan cara kerja atau proses produksi,
sehingga mampu menghasilkan kinerja dan kualitas yang diharapkan. Dengan itu
maka daya saing (Competitiveness) sektor publik dapat dibentuk dengan
tingkat biaya / pengorbanan yang lebih rendah.
2. Metode Analisis Barang Publik – Barang
Privat
Pada dasarnya,
klasifikasi barang dan jasa dapat dibagi kedalam dua jenis, yaitu barangpublik
(public goods) dan barang privat (private goods). Secara
dikotomis dapat dilakukan pemisahan bahwa barang-barang publik wajib disediakan
oleh lembaga publik (pemerintah), sementara swasta-lah yang semestinya
menyediakan barang-barang privat. Namun dalam prakteknya, dikotomi seperti itu
tidak berlaku. Bias jadi, barang-barang yang tergolong private goods murni
harus disediakan oleh pemerintah melalui mekanisme kontrol dan regulasi.
Misalnya, kebutuhan beras harus dipenuhi oleh pemerintah dengan sistem operasi
pasar, pada saat terjadi kelangkaan
(shortage) beras. Dalam kondisi
seperti itu, status beras sebagai private goods bergeser menjadi public
goods, atau paling tidak semi-public goods. Sebaliknya, jasa pemadam
kebakaran justru cenderung beralih dari public goods menjadi private
goods.
Dalam bentuk
bagan, klasifikasi dan variasi barang publik dan barang privat dapat digambarkan
sebagai berikut:
Intervensi
pemerintah dibutuhkan dalam suatu jenis layanan tertentu, maka semakin besarlah
peluang kerjasama atau kemitraan antara sektor publik dengan swasta. Tabel dibawah
ini menggambarkan jenis dari setiap barang dan tingkat intervensi pemerintah. Selanjutnya,
dibawah Tabel disajikan kasus tentang jasa layanan kesehatan (Puskesmas) dan
model kerjasama yang dapat (mestinya) dipilih.
Kasus: Layanan Puskesmas
Puskesmas
sesungguhnya tidak cukup efisien dan oleh karena itu sebaiknya “dijual” kepada
dokter-dokter swasta agar dapat berkembang menjadi klinik-klinik kesehatan
swasta. Sebab, pelayanan Puskesmas pada dasarnya merupakan “barang privat” (private
goods) yang harus disediakan oleh sektor privat pula. Barang publik (public
goods) dibidang kesehatan seperti pencegahan penyakit (menular),
penanggulangan wabah, atau perbaikan gizi sendiri menjadi tugas dan tanggung
jawab Dinas Kesehatan, bukannya Puskesmas. Lagi pula, jika Puskesmas di
privatisasi, jelas akan menghemat anggaran pemerintah, dapat menjadi sumber
baru pendapatan daerah, sekaligus dapat meningkatkan mutu pelayanan kesehatan.
Adapun model
atau jenis-jenis kerjasama / kemitraan yang umum dilakukan (selain
opsi-opsi yang ditawarkan dalam teknik
POR) adalah sebagai berikut:
·
Pola Inti Plasma. Pola ini merupakan pola hubungan
kemitraan antara kelompok mitra usaha sebagai plasma dengan perusahaan
inti yang bermitra. Contoh pola kerjasama ini adalah PIR (Perusahaan Inti
Rakyat), dimana perusahaan inti menyediakan lahan, sarana produksi, bimbingan
teknis, manajemen, serta pengolahan dan pemasaran hasil produksi. Sedangkan
kelompok mitra usaha atau plasma (biasanya petani) memenuhi kebutuhan
perusahaan sesuai perjanjian yang disepakati.
·
Pola Subkontrak. Pola ini merupakan pola hubungan
kemitraan antara suatu perusahaan dengan kelompok mitra usaha yang memproduksi
kebutuhan perusahaan sebagai bagian dari komponen produksinya. Pola ini sering
diterapkan antara perusahaan besar dengan perusahaan kecil.
·
Pola Dagang Umum. Pola ini merupakan pola hubungan
kemitraan antara kelompok yang memasarkan hasil dengan kelompok yang mensuplai
kebutuhan / produksi tertentu. Kegiatan agrobisnis yang berlokasi di Sukabumi
dan Puncak, banyak menerapkan pola dagang umum ini.
·
Pola Keagenan. Pola ini merupakan pola hubungan
kemitraan dimana usaha kecil diberi hak khusus untuk memasarkan barang dan jasa
dari usaha menengah atau usaha besar sebagai mitranya.
·
Waralaba. Pola ini merupakan pola hubungan
kemitraan dimana suatu perusahaan memberikan hak lisensi atau merek dagang
perusahaannya kepada kelompok mitra usaha sebagai waralaba, dengan disertai
bantuan berupa bimbingan manajemen.
4.
Penutup.
Dari perspektif
kesisteman, penyempurnaan manajemen pemerintahan melalui pengembangan kerjasama
kemitraan dengan swasta / masyarakat haruslah mampu membawa perubahan budaya
kerja dari birokratisme menjadi korporatisme. Ini artinya, reformasi
pemerintahan hanya dapat dikatakan berhasil jika mampu menghasilkan hallo-effect
terhadap perilaku birokrasi. Dalam hal ini, proses perubahan perilaku yang
diharapkan meliputi perubahan dari pola manajemen gotong royong menjadi
renumerasi, dari paternalistis menjadi rasionalistis, dari orientasi
kolektivitas menjadi penghargaan terhadap eksistensi dan peran individu, dari
otoriter menjadi demokratis, dari sentralistis menjadi desentralistis, dari
tertutup menjadi terbuka, dari kaku menjadi luwes, dari birokratis menjadi
debirokratis, dari “government” menjadi “governance”, serta dari
“bad governance” menjadi “good
governance” yang menekankan kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta dan
masyarakat madani atau civil society. Perubahan perilaku birokrasi
adalah sebuah keniscayaan dalam era otonomi luas dewasa ini. Sebab, sebaik
apapun format kelembagaan jika tidak ditunjang oleh perilaku yang berorientasi
pada pelayanan publik, tetap tidak akan mampu menghasilkan produktivitas yang
tinggi.
Sesungguhnya
tidak ada suatu pedoman baku dalam menetapkan suatu kebijakan tentang kerjasama
atau kemitraan bidang tertentu. Apa yang dikemukakan di bawah ini hanyalah
suatu pertimbangan atau kriteria logis yang dapat diterapkan untuk semua jenis
kerjasama / kemitraan. Dalam hal ini, paling sedikit terdapat 4 (empat) pertimbangan
pokok untuk menggalang kerjasama antara sektor publik dan swasta atau masyarakat.
1. Kriteria Kelembagaan
·
Dampak
restrukturisasi terhadap perubahan kelembagaan instansi yang selama ini mengelola
jenis layanan tersebut.
·
Dampak
restrukturisasi terhadap kepegawaian instansi yang selama ini mengelola/menyediakan
jenis layanan tersebut.
2. Kriteria Ekonomi dan Finansial
·
Kemampuan
pemerintah untuk membiayai dibandingkan dengan kebutuhan masyarakat akan
layanan tersebut. Dapat diukur dengan Rasio Antara Prediksi Total Biaya
Operasional Yang Diperlukan (Jumlah Masyarakat Yang Harus Dilayani x Rata-rata
Biaya Per Orang) Terhadap Dana Pemerintah Yang Tersedia Untuk Layanan
Tersebut.
·
Kelayakan
pasar dari jenis layanan suatu jenis layanan. Apakah jenis layanan tersebut
laku atau tidak jika dijual dengan tarif yang ditentukan.
·
Kontribusi
net income (pendapatan total dikurangi biaya operasional) dari jenis layanan
tersebut terhadap PADS, jika dikelola pemerintah, dibandingkan dengan kontribusi
pajak yang akan diterima terhadap PAD jika layanan tersebut diserahkan kepada
swasta.
·
Tarif
yang dikenakan jika dikelola oleh pemerintah dibandingkan prediksi tarif
yang akan dikenakan jika dikelola oleh swasta.
·
Efisiensi
dalam menyelenggarakan layanan, yang tercermin dari rasio antara total penerimaan
terhadap total biaya operasional.
3. Kriteria Produk Layanan
·
Kondisi
kualitas layanan saat ini.
·
Kesesuaian
layanan dengan kebutuhan masyarakat saat ini.
·
Kualitas
layanan saat ini dibandingkan dengan jika diselenggaran oleh swasta.
4. Kriteria Prosedur dan Mekanisme
Pelayanan
·
Kesederhanaan
prosedur layanan saat ini.
·
Kemudahan
persyaratan untuk mendapatkan layanan saat ini.
·
Kemudahan
dan kesederhanaan prosedur pelayanan saat ini dibandingkan dengan prediksi
jika layanan tersebut diselenggarakan oleh swasta.
Adapun tahapan yang sebaiknya ditempuh
untuk menggalang kerjasama kemitraan dengan swasta adalah sebagai berikut (M.
Jafar Hafsah, Kemitraan Usaha, Sinar Harapan, 2000):
1. Membangun hubungan dengan calon mitra.
2. Mengerti kondisi bisnis pihak yang bermitra.
3. Mengembangkan strategi dan menilai detail bisnis.
4. Mengembangkan program.
5. Memulai pelaksanaan.
6. Memonitor dan mengevaluasi
perkembangan.
Daftar Bacaan:
·
Pratikno,
Dr.,M.Soc.Sc (editor), 2007, Kerjasama antar Daerah; Kompleksitas dan Tawaran
Format Kelembagaan; Program S2 Politik Lokal dan Otonomi Daerah, UGM Yogyakarta
·
Tri Widodo W. Utomo, SH., MA, Makalah Pengembangan Kerjasama Pemerintah dengan Swasta dan
Masyarakat, disampaikan pada “Diklat Manajemen Pemerintahan” bagi Aparat
Pemerintah Daerah Kabupaten Bandung di Lembang, 24 Juni 2004)
·
UU No.
32 Tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah
·
PP
No. 50 Tahun 2007 Tentang Tata Cara pelaksanaan Kerjasama Daerah
[1]
Makalah ini disajikan dalam acar diskusi publik dan launching LSN .
[2]
Direktur Eksekutif LSN.
[3]
UU No.32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, Klausul:menimbang, point a.
[4]
Baca Harian Media Indonesia Online, edisi Kamis 28 April 2011, topik: otonomi
daerah yang membakukan
[5] “efisiensi” adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja
sama untuk menekan biaya guna memperoleh suatu hasil tertentu atau menggunakan
biaya yang sama tetapi dapat mencapai hasil yang maksimal
[6] “efektivitas”
adalah upaya pemerintah daerah melalui kerja sama untuk mendorong pemanfaatan
sumber daya para pihak secara optimal dan bertanggungjawab untuk kesejahteraan
masyarakat
[7] “sinergi” adalah upaya untuk terwujudnya harmoni antara
pemerintah, masyarakat dan swasta untuk melakukan kerja sama demi terwujudnya
kesejahteraan masyarakat.
[8] “saling menguntungkan” adalah pelaksanaan kerja sama harus
dapat memberikan keuntungan bagi masing-masing pihak dan dapat memberikan
manfaat bagi masyarakat.
[11] “mengutamakan kepentingan nasional dan keutuhan wilayah
Negara Kesatuan Republik Indonesia” adalah seluruh pelaksanaan kerja sama
daerah harus dapat memberikan dampak positif terhadap upaya mewujudkan
kemakmuran, kesejahteraan masyarakat dan memperkokoh Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
[12] “persamaan kedudukan” adalah persamaan dalam kesederajatan
dan kedudukan hukum bagi para pihak yang melakukan kerja sama daerah.
[13] “transparansi” adalah adanya proses keterbukaan dalam
kerja sama daerah.
[14] “keadilan” adalah adanya persamaan hak dan kewajiban serta
perlakuan para pihak dalam melaksanakan kerja sama daerah.
[15] “kepastian hukum” adalah bahwa kerja sama yang dilakukan
dapat mengikat secara hukum bagi para pihak yang melakukan kerja sama daerah.
[16] Pasal 2 dan pasal 4 PP
No.50 Tahn 2007
[17] PP No.50/2007
[18] Tri
Widodo W. Utomo, SH., MA, Peneliti LAN dan mahasiswa Program Doktor di
Department of International Cooperation (DICOS), Graduate School of
International Development (GSID), Nagoya University, Japan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar