Selasa, 16 Oktober 2012

Mentransformasi Dmokrasi ke level Desa


Demokrasi dan Demokratisasi Desa
Demokrasi
Demokrasi adalah sebuah bentuk pemerintahan  oleh rakyat. Jalan konkrit untuk mengorganisasikan bentuk pemerintahan ini dan pertanyaan mengenai kondisi dan pra kondisi yang dibutuhkan telah di perdebatkan secara intensif selama beberapa abad. Tentu saja sumbangan pertama dalam diskusi ini berasal dari jaman Yunani kuno.
Istilah demokrasi berasal dari gabungan dua kata bahasa Yunani : demos (rakyat) dan kratos (pemerintah). Defenisi “pemerintah oleh rakyat” mungkin terdengar lugu, tetapi pengertian tersebut segera memunculkan  sejumlah isu yang kompleks. Isu-isu terpenting yang dirangkum jitu dalam sebuah laporan baru-baru ini:  Siapakah yang dimaksud dengan “rakyat”
Jenis partisipasi apakah yang dianggap kondusif bagi partisipasi, Dapatkah disisentifkan, atau biaya dan manfaat, dari partisipasi dibuat sama. Seberapa luas dan seberapa sempit lingkup pemerintahan yang dimaksud. atau bidang apakah yang cocok bagi kegiatan demokrasi. Jika “pemerintah” mencakup politik, apakah maksudnya. Apakah meliputi; hukum dan tata tertib, hubungan antara negara, ekonomi, dan bidang dalam negeri atau bidang privat. Apakah pemerintah oleh “rakyat” harus dipatuhi, adakah wadah untuk kewajiban dan perbedaan-perbedaan; Mekanisme apakah yang diciptakan bagi mereka yang secara aktif di nyatakan sebagai “non-partisipan”; Dalam keadaan apakah, jika ada, demokrasi berhak mengambil jalan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri atau terhadap mereka yang berada diluar bidang pemerintahan yang sah. ( Georg Sorensen, 2003, hal; 2)
Terlihat dengan mudah bahwa pembicaraan mengenai demokrasi harus meliputi tidak hanya teori tentang cara-cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan pemerintahan oleh rakyat, tetapi juga filsafat tentang apa yang seharusnya (yaitu cara-cara terbaik membangun pemerintahan) dan pemahaman tentang pengalaman praktis mengorganisasikan pemerintahan dalam masyarakat yang berbeda pada waktu yang berbeda.
Demokrasi, seperti yang dirumuskan oleh Joseph Schumpeter  secara sempit adalah :
“Baginya demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme untuk memilih pemimpin politik. Warga negara di berikan kesempatan untuk memilih salah satu diantara pemipimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih suara. Diantara pemilihan, keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan berikutnya, warga negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya. Kemampuan untuk memilih diantara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan inilah yang disebut dengan demokrasi”.
            Dalam kalimat Schumpeter, “metode demokrasi adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik dimana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif untuk meraih suara” (J. Schumpeter, 2003: hal; 13-14).
            Sedangkan pengertian secara komperhensif yang di uraikan oleh David Held, Held menggabungkan pemahaman pendangan liberal dan tradisi Marxis untuk sampai pada arti demokrasi yang mendukung suatu prinsip dasar otonomi :
“Orang seharusnya bebas dan setara dalam menentukan kondisi kehidupannya; yaitu, mereka harus memperoleh hak yang sama (dan, karena itu, kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka, asalkan menyebarkan kerangka pikir ini untuk meniadakan hak-hak oranglain”.
            Pembuatan prinsip tersebut, yang oleh Held disebut sebagai otonomi demokrasi (democratic autonomy), membutuhkan baik akuntabilitas negara dalam derajat yang tinggi dan suatu pemesanan kembali masyarakat sipil. Otonomi demokrasi meramalkan partisipasi substansial secara langsung pada lembaga-lembaga komunitas lokal dan manajemen diri (self-management) perusahaan umum. Otonomi demokrasi membutuhkan pernyataan hak-hak manusia (bill of ringhts) di luar hak memilih untuk memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan untuk menemukan preferensi pribadi dan pengawasan akhir poleh warga negara terhadap agenda politik. (Held, 2003: hal; 14-15).
            Demokrasi tidak haya berarti hak memilih pemerintah meskipun ini juga hal sangat penting. Demokrasi merupakan keseluruhan bentuk hak yang harus bisa dimiliki oleh warga negara apabila suatu pemerintahan itu terbuka, dapat dipercaya dan partisipatif. Hak-hak ini meliputi kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan pers, kebebasan berserikat, misalnya serikat buruh atau kelompok penekan; akses kepada informasi khususnya menangani rencana pemerintah terutama bagi mereka yang trekena secara langsung dan hak untuk diajak bicara dalam keputusan seperti ini, serta kebebasan dari segala bentuk diskriminasi, apakah itu berdasarkan jenis kelamin, ras ataupun agama.
            Apabila didefenisikan secara luas, demokrasi telah dikumandangkan tidak hanya oleh para pemimpin Revolusi Eropa Timur dan tempat-tempat lainnya, tetapi juga dikumandangkan oleh gerakan-gerakan rakyat diseluruh dunia. Gerakan wanita telah mengikis banyak kendala yang melingkupi setengah umat manusia yang berada dalam status inferior (rendah). Gerakan lingkungan telah memaksa para pemimpin politik dan bisnis untuk kembali melihat sumber daya alam dengan penglihatan baru. Dan kampanye di banyak negara oleh suku-suku yang terancam dengan adanya “kemajuan” telah membawa penduduk asli menjadi sorotan.
            Kekuatan yang mengendalikan gerakan-gerakan ini adalah arti rasa sukarela yang datang secara bersamaan baik oleh pria maupun wanita dengan satu tujuan bersama yaitu keinginan untuk memperbaikan masyarakat dimana mereka hidup dengan cara  menuntut perubahan dari para penguasa. Satu-satunya kekuatan tawar menawar yang mereka miliki adalah kekuatan dari segi jumlah mereka, argument mereka yang persuasif dan penampilan kerakyatan yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka juga merupakan organisasi volunteer yang memperjuangkan terwujudnya tatanan masyarakat tanpa penindasan dan diskriminatif yang terbingkai dalam kehidupan pemerintahan yang demokratis. (  Jhon Clark, 1995: hal;18).

Demokrasi Desa.

Di Indonesia, demokrasi modern baru dikenal pada awal Abad ke-20 dan pada tahun 1918 disimulasikan dalam volksraad ( konsep kerakyatan). Tentu saja demokrasi disini yang dimaksud demokrasi Barat yang sudah lewat Revolusi Perancis, lewat Belanda ke Hindia Belanda.Ternyata demokrasi yang dimasukkan Belanda lewat volksraad itu berkembang di Indonesia bersama dengan demokrasi yang dirancang oleh kelompok intelektual Indonesia hasil pendidikan Belanda lewat politik etiknya.
Maka dalam perkembangannya, pemerintahan yang berkembang yaitu pemerintahan yang sudah berlaku cukup lama dalam skala yang luas yang membawahkan desa-desa diseluruh Indonesia. Seperti diketahui pemerintahan yang sudah berjalan cukup luas dan yaitu kerajaan-kerajaan Hindu yang kemudian dicampuri dengan kerajaan Islam, yang kemudian ditumpangi dengan birokrasi modern yang diciptakan oleh Belanda untuk menghisap kekayaan Indonesia di desa-desa lewat masyarakat desa yang dijadikan tenaga kerja yang murah untuk menunjang eksploitasi Belanda itu. Akhirnya berkembanglah birokrasi yang hirarkis tetapi semua memeras desa untuk memenuhi kebutuhan pemerintahan  yang diatasnya yang berpuncak pada Gubernur Jendral dan akhirnya Raja Belanda.
Pada waktu Proklamasi kemerdekaan yang diikuti dengan perang kemerdekaan sampai tahun 1949, desa menjadi tempat pengungsi penduduk kota dan markas Tentara Nasional Indonesia (TNI) serta gerakan perjuangan melawan Belanda yang aman dan mampu menyediakan logistik yang lumayan untuk mengadakan perlawanan. Akan tetapi sesudah Belanda meninggalkan Indonesia dan Indoensia merdeka dalam arti Belanda sudah tidak menjajah lagi, desa kembali pada posisi semula yaitu merupakan dasar hirarki pemerintahan yang sudah dibangun oleh Belanda dulu yaitu pemerintahan pusat, karesidenan, kabupaten, kecamatan, desa. Kecuali lembaga tradisional yang dimiliki desa untuk kepentingan rakyat desa juga mendapat perintah kecamatan, sehingga demokrasi desa yang dibawah pimpinan primus inter pares (orang-orang yang dianggap tua dan terhormat) itu tidak sempat mengurusi kepentingan rakyat desa sendiri, tetapi makin lama makin menjadi kepanjangan pemerintahan atasan, yang mematikan demokrasi desa.
Secara historis, demokrasi desa kemudian menjadi mandeg dan tidak berkembang karena pengaruh dari luar berupa kerajaan Hindu, kerajaan Islam, kemudian ditumpangi birokrasi kolonial yang dibangun oleh Belanda yang dilanjutkan oleh Jepang. Baru pada waktu Proklamasi, orang-orang desa mendapatkan kesempatan melawan penjajah beserta kelompok intelektual dari kota. Namun sesudah penjajah dapat diusir, rupanya kelompok intelektual membangun suatu rezim yang diduga juga tidak banyak memberi kesempatan kepada desa untuk mengembangkan demokrasi-nya yang sudah berhenti berhimpit berabad-abad tersebut.
Kita ketahui, memang setelah Indonesia merdeka, desa menjadi bebas dalam arti kembali seolah-olah tetap berjalan dengan dasar hukum IGO ( Inlandse Gemeene Ordonanntie) yaitu dasar hukum kepada desa di Jawa dan Madura dan IGOB (Inlandse Gemeene Ordonanntie Buitengewesten) yaitu dasar hukum bagi desa di luar Jawa, yang mempertahan kan demokratisme dan otonominya, bahkan nantinya dengan kekayaanya, desa menjadi penyandang logistik para gerilyawan dalam periode 1945-1950. Namun sejak tahun 1945 ketika Pemerintah mengeluarkan Maklumat 14 November 1945 sebagai tindak lanjut Maklumat No.X dan Maklumat Pemerintah 3 November 1945, maka partai Politik mulai masuk ke desa-desa. Dalam hal ini Sultan Hamengku Buwono IX sebagai salah seorang pemimpin yang mendukung Proklamsi Kemerdekaan di Yogyakarta mengeluarkan peraturan yang disebut Maklumat No.7 tahun 1945 untuk mengatur Dewan Perwakilan Kelurahan yang harus dipilih rakyat, kemudian Maklumat No.14/1946 mengatur Majelis Permusyawaratan Desa dan Maklumat No.15/1946 mengatur pemilihan Kepala Desa untuk menyesuaikan Yogyakarta dengan UUD 1945 dan daerah-daerah lain yang tidak istimewa. Dewan Kelurahan dipilih oleh penduduk desa yang sudah berumur 18 tahun dan sudah enam bulan tinggal di desa itu, Pamong desa dipilih oleh penduduk desa dan majelis desa terdiri atas kepala keluarga yang tinggal di desa itu. Dengan demikian, demokrasi desa dapat dijalankan dengan teratur.
Ini adalah sebuah kondisi desa yang cukup membanggakan, dalam artian harkat dan martabat desa beserta seluruh warganya benar-benar dijamin dan diakomodir. Akan tetapi, ketika Belanda sudah meninggalkan Indonesia, mulailah Indonesia mengatur pemerintahan sendiri tahun 1950 dengan menyatakan UUD sebagai undang-undang dasarnya. Pada waktu itu desa tidak diatur tersendiri, sedangkan daerah diatur dengan UU No.22 Tahun 1948, kemudian diganti dengan UU No.1/1957, desa juga tidak diatur tersendiri. Baru tahun 1965 keluarlah UU No.19/1965 tentang Desapraja. UU No.19/1965 ini mencabut semua peraturan perundang-undangan yang mengatur desa sejak jaman Belanda dan jaman Jepang. Desapraja yang akan dibentuk merupakan penigkatan desa atau dengan nama lain seperti negari menjadi Daerah Tingkat III, yang kecuali mengurus urusan rumah tangganya, juga diserahi urusan dari daerah Tingkat II. Desaprja dipimpin oleh Kepala Desapraja yang didampingi Lembaga Legislatif Musyawarah Desapraja. Namun UU No.19/1965 ini tidak sempat diberlakukan karena terjadi Pemberontakan 30 September 1965.
Ketika pada Tahun 1979 keluarlah UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa, dengan UU No.5/1979 ini regim Soeharto mengikat Pemerintah Desa lewat Kepala Desa, sebab Kepala Desa sekaligus sebagai Kepala LKMD lembaga eksekutif desa dan LMD, lembaga legislatif desa. Rakyat desa diinstruksikan lewat Kapala Desa, sehingga Pemerintaha Pusat dapat melaksanakan programnya secara penuh di desa, apakah sesuai dengan kebutuhan rakyat atau tidak. Dengan demikian Kepala Desa dijadikan alat sebagai penguasa tunggal di desa seperti halnya Bupati dan Gubernur. Inilah akhir dari otonomi dan demokrasi di desa, dan berlangsung dari tahun 1965 sampai sekarang. (Prof. Dr. Suhartono, 2000; hal; 17-26)
            Perjalanan kehidupan sistem pemerintahan di desa, begitu kuat mendapat cengrakaman dari pemerintah pusat, sehingga berdampak pada minimnya kreatifitas masyarakat desa dan menciptakan ketergantungan yang “sakaoism” terhadap pemerintah pusat, desa seakan tidak masuk dalam kebijakan politik pembangunan nasional, berbagai proses ekspolitasi terhadap desa kian gencar dilakukan, sehingga bukan lagi menjadi “surga” bagi masyarakatnya dan tidak salah lagi ketika banyak warga desa yang hijrah ke kota, sebab di desa tidak adalagi tempat yang damai untuk hidup mencari kehidupan. Musyawarah dan mufakat yang sering dilakukan oleh masyarakat desa dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya telah diubah menjadi konsep sepakat dan sepaham oleh pemerintah pusat, dan iornisnya semua itu dilakukan atas nama demokrasi dan kesejahteraan bagi masyarakat desa. Desa dikontrol dan dicengkram melalui instrumen birokrasi, yang akhirnya birokratisasi dan hirarkis pada pelaksanaan fungsi dan peran pemerintahan desa.
            Birokratisasi Desa dalam sistem Pemerintahan nasional di republik ini, melalui pemberlakukan UU No.5 tahun 1979 tentang pemerintahan di Desa (lembaran Negera Tahun 1979 Nomor 56, tambahan lembaran Negara Nomor 3153) selanjutnya disingkat UUPD No.5/1979, telah menimbulkan dampak yang tidak kecil. Dalam strategi birokratisasi desa itu, meski otonomi desa juga disinggung-singgung, setyidaknya Pasal 18 UUD 1945 juga menjadi konsiderans UUPD No.5/1979, desa tidak hanya diubah statusnya, yakni dari ‘masyarakat hukum’ menjadi ‘sekumpulan orang yang tinggal bersama….’, melainkan dalamnya juga dicangkokkan sebuah institusi baru yang disebut Pemerintahan Desa.
            Bersamaan dengan itu governance system (sistem pengelolaan dan atau pengurusan hidup bersama) yang ada ditingkat komunitas, dimana di dalamnya tercakup government system (sistem pemerintahan), digantikan oleh suatu sistem pengolaan dan atau pengurusan hidup bersama yang baru, yang sama sekali berbeda dan karenanya asing bagi warga desa. Padahal, sejatinya, ada perbedaan ‘rasa keadilan’ yang amat besar antara desa sebagai suatu ‘persekutuan sosial’ dengan desa sebagai suatu ‘satuan administrasi pemerintahan’. Ada rasa keadilan yang hidup dalam desa yang tidak tertampung dalam desa baru sebagai ‘satuan administratif pemerintahan’ itu. Demikian pula ada aturan-aturan yang ada dalam ketentuan administratif pemerintahan desa itu yang tidak sesuai dengan            ‘rasa keadilan’ masyarakat desa yang umum berlaku. Desa yang semula hidup diatas dasar sentimen paguyuban, misalnya, diubah menjadi suatu institusi yang katanya ‘rasional’.
            Dengan pemberlakuan UU No.5/1979 desa dipecah dan atau digabungkan satu sama lainnya, untuk menjadi sebuah ‘desa gaya baru’. Akibatnya uniformitas dari sistem pemerintahan tersebut, warga desa harus memaksakan diri untuk hidup pada alam yang tidak sesuai dengan ‘fisiknya’. Desa bukan di ‘demokrasikan’, akan tetapi di ‘dis-demokrasi’ melalui birokratisasi yang uniformitas tersebut.
            Karena demokrasi adalah sebuah konsep inklusif, maka demokrasi pada dasarnya desa beserta warganya harus ditempatkan pada ‘alam’ yang sesuai dengan ‘tanah kelahiran dan adat istiadatnya’, dan bukan dipaksakan untuk mengelaborasikan diri. Oleh karena itu, menjadi sangat penting pemerintahan oleh rakyat. “rakyat dalam hal ini pada prakteknya memang dibatasi dengan beberapa cara : Mayoritas warga berhak memilih dan pilih, dan seterusnya. Dengan katalain, memang pada prakteknya tidak seluruh rakyat per individu bisa terlibat dalam proses demokratik, namun paling tidak semua elemen masyarakat yang eligible terakomodasi disana.
            Demokrasi modern dihadapkan pada kenyataan kompleksitas masyarakat, sehingga pemilihan dan perwakilan menjadi asas yang sangat penting didalamnya, sebagai alternatif terhadap demokrasi secara langsung yang bisa diterapkan dalam masyarakat yang sederhana
            Demikian halnya membangun demokrasi di desa, sudah barang tentu tidak bisa dilihat hanya sebatas pada desa itu sendiri. Hal yang tidak bisa diabaikan adalah, bagaimana relasi yang terbangun antara desa dan kekuatan di luar. Persoalan ini hendaknya menunjuk bahwa apapun usaha yang dilakukan apabila desa tetap menjadi sub-ordinasi dari kekuatan diatasnya, maka perubahan yang berarti tidak akan pernah bisa diwujudkan. Sebaliknya, desa sebagai basis masyarakat mayoritas, apabila tidak bisa ditranformasikan menjadi kekuatan demokrasi, maka sangat mungkin akan sulit untuk membangun demokrasi dalam arti yang sesungguhnya.  (Annual Report, IRE, 2001-2002;).
            Demokrasi desa yang dimaksud adalah bukan hanya upaya menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat desa itu sendiri, akan tetapi lebih menekankan pada proses pemberdayaan masyarakat desa dengan melakukan  pembaruan relasi masyarakat dan negara, dengan tujuan untuk memposisikan desa bukan sebagai pemerintahan terkecil atau terendah dalam sebuah ketatanegaraan, namun dalam konteks demokrasi desa, desa lebih pandang sebagai mitra pemerintah dalam membangun bangsa atau dengan lain kata desa harus dipandang sebagai potensi perubahan.
            Desa sebagai basis masyarakat dengan corak lokalitas dan kultur budaya yang masih kental, maka hendaknya demokrasi harus diterapkan secara  universal yaitu; adanya pengakuan hak-hak dasar (asasi) manusia sebagai jaminan untuk dapat mengemukakan ekspresi politik tanpa intimidasi; adanya pluralisme yang menjadi syarat bagi munculnya ide-ide yang berbeda; adanya kompetisi bebas yang didasarkan pada aturan main yang jelas; dan adanya persamaan (kesetaraan/equality) bagi seluruh warga masyarakat dalam aktivitas politik.
            Menurut Soetarjo Kartohadi Koesoemo (1984: 15) arti kata desa, desi, seperti juga perkataan negara, negeri, negaro, negory, asalnya dari perkataan sansakerta, yang artinya tanah air, tanah asal, tanah kelahiran. Sebagaimana ditulis oleh Geertz (2000), desa merupakan sebutan dari negara. Desa memiliki arti “daerah pedalaman”, “daerah”, atau “daerah yang diperintah”. ( Suhartono W Pranoto, 2001:hal; 8).
Desa pengertiannya tergantung dari pengertian yang digunakan. Untuk itu dapat kita lihat beberapa pengertian dari beberapa sudut pandang umum (popular), sudut pandang ekonomi, sudut pandang sosiologis, dan sudut pandang hukum-politik. Untuk memperjelas pemahaman, maka dari pengertian yang ada kemudian akan ditarik sejumlah ciri desa dan sedapat mungkin di kontraskan dengan ciri kota.
Sedangkan dalam pengertian umum  atau pengertian yang sudah dikenali dan dipergunakan oleh masyarakat umum dalam kehidupan sehari-hari. Pengertian tersebut biasanya dapat ditemukan dalam kamus, atau dalam perbincangan masyarakat luas.
            Masyarakat umum memahami desa sebagai tempat bermukimnya suatu penduduk dengan peradaban yang lebih terbelakang dari pada kota. Biasanya ditandai oleh bahasa ibu yang kental, tingkat pendidikan yang relatif rendah, mata pencaharian yang umumnya disektor pertanian. Bahkan terdapat kesan kuat bahwa desa tempat bermukim para petani.
            Pengertian lain, dapat kita jumpai dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:200) yang menyebutkan bahwa desa adalah (1) sekelompok rumah diluar kota yang merupakan kesatuan; kampong; dusun; (2) udik atau dusun (dalam kata arti daerah pedalaman sebagai lawan kota); (3) tempat, tanah, daerah, penegrtian ini (pengertian yang disusun oleh orang kota) berangkat dari kontras pemahaman mengenai kota. Penegrtian ini menunjukkan beberapa ciri: pertama bahwa desa merupakan suatu lokasi pemukiman diluar kota, sekaligus bukan kota. Kedua, desa adalah suatu komunitas (kesatuan), sangat jelas ditunjukan bahwa desa merupakan komunitas yang homogen. Dan ketiga, desa menunjukkan suatu sifat dari lokasi sebagai akibat dari posisi yang ada di pedalaman dengan kata lain terbelakang. Pengertian ini mengandung unsur sosiologis, selain bias kota yang sangat kentara, dengan demikian posisi marginal orang desa dalam wacana, merupakan konstruksi orang kota.
Dalam pengertian sosiologis, desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak tergantung pada alam, ( Maschab, 1992). Lebih jauh beliau menyebutkan bahwa dalam pengrtian sosiologis desa diasosiasikan dengan masyarakat yang lebih sederhana, pada umumnya hidup dari lapangan pertanian, ikatan sosial, adat istiadat dan tradisi masih kuat sifat jujur dan bersahaja, pendidikan yang relatif rendah dan lain sebagainya.
Gambaran tersebut, pada dasarnya menonjolkan desa selain memuat segi-segi dan sifat positif, seperti kebersamaan dan kejujuran, namun dipandang pula mengandung ciri negatif, seperti kebodohan dan keterbelakangan, seperti sebagian buta huruf, masyarakt bertani, masih belum mengenal teknologi tinggi dan masih menggunakan bahasa pengantar bukan Bahasa Indonesia, masih menjadi citra desa.
Pandangan (sosial) ekonomi yang menekankan sisi produksi, melihat desa sebagai komunitas yang memiliki model produksi yang khas (Wiradi, 1988). Desa mengandung arti sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan dan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi dan investasi sebagai hasil keputusan keluarga bersama (Hayami Kikuchi. 1987:hal; 11)
Dilihat dari sudut pandang hukum dan politik yang lebih menekankan kepada tata aturan yang menjadi dasar pengaturan kehidupan masyarakat, desa dipahami sebagai suatu wilayah kesatuan hukum dimana bertempat tinggalnya suatu masyarakat, yang berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri (Kartohadikoesoemo, 1984: 16, Wiradi, 1988). Pengertian ini sangat menekankan adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk. Dalam pengertian ini terdapat kesan yang kuat, bahwa kepentingan dan kebutuhan masyarakat desa, hanya dapat diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa bukan oleh fihak luar.
            Namun demikian, selain dari empat pengertian yang dikemukakan berdasarkan konsep dan pemahaman yang berbeda-beda, terdapat juga penegrtian lain yang bersebrangan dengan pengertian tersebut diatas. Kebijakan Pemerintahan Desa pada UU No. 22 Th 1999, desa diberi pengertian baru sebagai :
“ Kesatuan wilayah masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat setempat yang diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada daerah kabupaten.”
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa, pengertian yang termuat dalam undang-undang secara jelas menempatkan desa sebagai suatu organisasi pemerintahan atau organisasi kekuasaan yang secara politis memiliki wewenang tertentu untuk mengatur warga atau komunitasnya. Baik sebagai akibat posisi politiknya yang merupakan bagian, atau hak asal-usul dan adat yang dimiliki (UU No.22 Th. 1999). Namun demikian dalam pengertian ini masih belum tergambar secara jelas, mengenai kualitas otoritas yang dimiliki desa. Terutama berkaitan dengan kekuatan politik di atasnya, yaitu negara.
Jadi, berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan demokrasi desa  adalah  sebuah tatanan masyarakat dengan sistem lokalitas yang mengedepankan kerjasama dalam menyelesaikan  suatu pekerjaan dan bermusyawarah dan mufakat bila  mengahadapi masalah dan mencari solusinya tanpa intervensi yang berlebihan pemerintah pusat atau supra desa. Dengan katalain, demokrasi desa merupakan ruang dimana masyarakat desa dapat mengatur tatanan pemerintah sebagai rumah tangganya sendiri yang dikelola sesuai inisiatif dan kreatifitasnya serta sesuai dengan hak dan adat istiadat yang dimiliki, dan pemerintah (supra desa) hanya berperan sebagai mitra yang sifatnya membantu untuk bekerjasama, dengan demikian akan menempatkan desa sebagai demokrasi yang otonomi ( democratic autonomy) atau demokrasi desa yang asli.

Demokratisasi Desa
Demokrasi sebagai sebuah paham yang meletakkan kedaulatan tertinggi berada di tangan rakyat desa. Menurut mayo sistem yang demokratis, terwujud bila pengambilan keputusan secara efektif berada dibawah kontrol masyarakat. Dengan demikian berarti demokratisasi menuju demokrasi desa akan terwujud apabila rakyat desa telah mampu melakukan kontrol terhadap proses pengambilan keputusan baik ditingkat desa sendiri, maupun dilevel supra desa yang menyangkut hak hidup rakyat desa. Adapun prasarat yang harus muncul bagi demokratisasi atau tumbuh dan berkembangnya demokrasi di pedesaan adalah :
·         Adanya pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pembagian kekuasaan akan membuat terjadinya perimbangan kekuasaan yang akan menutup peluang munculnya “raja kecil” dan otoritarianisme di Desa.
·         Adanya pemilihan secara langsung oleh rakyat terhadap penyelenggara pemerintahan.
·         Adanya jaminan bagi rakyat desa untuk berpartisipasi baik dalam proses penentuan pelaksanaan pemerintahan, maupun dalam proses pemerintahan.
·         Kewenangan yang besar pada level pemerintahan terkecil (otonomi desa) untuk menentukan proses pemerintahan baik yang berkaitan secara politik, ekonomi, maupun sosial dan budaya.
·         Kewenangan yang besar akan membuat rakyat desa dengan pembuat keputusan sehingga mempermudah rakyat mendapatkan layanan yang maksimal, sekaligus melakukan kontrol.
·         Adanya civil society yang kuat dan bermakna. ( Tumpal. P. Saragi ; 2004)
Desa mempunyai posisi yang strategis di Indonesia, sebab desa adalah tempat mayoritas sekaligus penyedia utama bahan baku pangan dan untuk keperluan industri. Tetapi pada kenyataannya sepanjang sejarah posisi ini tidak membuat desa menjadi kuat, dalam arti dapat berpartisipasi aktif, bila berhadapan dengan kekuatan yang ada diluar desa (supra desa). Dari posisi ini membawa akibat banyak kekuatan politik dan ekonomi yang berusaha melemahkan desa, guna mengambil keuntungan politik maupun ekonomi. Akibatnya, dalam sejarah pedesaan Indonesia dari masa kerajaan, kolonial, sampai masa kemerdekaan, desa selalu menjadi objek eksploitasi dari kekuatan politik dan ekonomi yang berasal dari luar desa. Puncak dari proses pelemahan desa justru terjadi pada jaman kemerdekaan, ketika rezim orde baru berkuasa, yang lebih ironisnya lagi, pelemahan dan penindasan terhadap desa tersebut juga terjadi pada era reformasi yang sebagian orang mengatakan ‘eranya demokrasi’. Berikut ini akan diuraikan dinamika demokratisasi desa di Indonesia dimulai dari masa regim orde baru.

Masa Orde baru
Masa Orde Baru ditandai oleh semangat negara yang mengejar pertumbuhan ekonomi dengan jalan menciptakan kondisi politik yang stabil yang harus dijamin dengan sistem otoriter. Dalam sistem ini desa harus dapat dijadikan sebagai objek untuk mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi. Semangat inilah yang menyebabkan regim Orde Baru melakukan segala cara untuk melemahkan desa.
Adapun rezim Orde Baru melemahkan desa, adalah dengan membuat sebuah sistem kontrol langsung terhadap desa. Yakni dengan langsung masuk kedalam desa, dan melakuka kontrol dengan dua cara, yakni melalui birokrasi dan militer. Cara militer dilakukan dengan memperalat militer dengan memperluas jaringan dan memperbesar peran Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Jaringan militer diperluas dengan membuat jaringan sampai masuk kedaerah pedesaan, melalui penempatan Bintara Pembinan Desa (Babinsa). Peran ABRI di perluas dengan tidak hanya mengurusi persoalan pertahanan, tetapi juga mengurusi persoalan keamanan dan sosial-politik, yakni menjadi pengawas dan Pembina Kepala Desa untuk mengamankan program pembangunan Orde Baru.
Sedangkan kontrol dengan menggunakan biorkrasi sebagai alat, dilakukan dengan cara mengeluarkan UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. UU ini telah menempatkan kepemimpinan Kepada Dsa yang dipilih secara langsung oleh rakyat, hanya sebagai alat perpanjangan birokrasi dari pemerintah pusat. Hal ii disebabkan dalam undang-undang ini, Desa diintegrasikan sebagai bagian administrasi Pemerintah Pusat. Desa dijadikan sebagai satu kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah dibawah Camat. Selain itu, undang-undang ini juga memberikan kekuatan kepada Kepala Desa sebagai alat dari Pemerintah Pusat untuk melakukan kontrol terhadap rakyat desa, dengan menempatkan Kepala Desa sebagai penguasa tunggal dari setiap aktivitas di desa. Dengan melakukan kontrol yang ketat, Pemerintah Orde Baru dapat dengan leluasa melakukan mobilisasi sumber daya manusia dan sumber daya alam di desa, guna mengejar pertumbuhan ekonomi.
Dengan membuat rakyat menjadi lemah, Orde Baru telah membuat rakyat teraisng dalam proses pengambilan keputusan. Memang, kata partisipasi adalah kata yang sering digunakan oleh Pemerintahan Orde Baru, tetapi kata ini kemudian mengalami pendangkalan makna. Dalam hal ini, partisipasi hanya dimaknai dengan keterlibatan rakyat dalam melaksanakan program-program pembangunan pemerintah Orde Baru.
Setelah berjalan selama tiga puluh tahun, ternyata kebijakan pembangunan desa hanya menafikan partisipasi masyarakat desa, tidak mengahsilkan sebuah kondisi kehidupan yang lebih baik, tetapi justru menimbulkan kondisi yang memprihatinkan masyarakat desa. Kondisi ini berupa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), rusaknya tatanan kelembagaan lokal, hancurnya lingkungan hidup dan yang lebih memperihatinkan lagi adalah hilangnya kemampuan desa untuk mandiri. Semua disebabkan hancurnya daya inisiatif dan kreatifitas rakyat desa, karena berkembangnya budaya menunggu perintah dari atasan.
Kekuasaan sentralistik dan otoriter yang berdampak pada kondisi masyarakat kian tertekan. Akibatnya, rakyat melakukan perlawanan terhadap penguasa. Bersamaan dengan krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, gerakan mahasiswa didukung rakyat, hadir dan menyuarakan agar terjadinya reformasi politik di Indoneisa. Akhirnya gerakan reformasi politik dilakukan mahasiswa, berhasil menumbangkan Persiden Soeharto yang merupakan tulang punggung regim Orde Baru. Tumbangnya Soeharto ini menjadi awal bagi bergulirnya reformasi politik di Indonesia.
Masa Transisi
Setelah reformasi politik bergulir, rakyat menuntut dilakukan perubahan terhadap tetanan politik yang dibangun regim Orde Baru. Pemerintahan masa Presiden B.J. Habibie mengakomodasi tuntutan tersebut dengan melakukan perubahan terhadap mekanisme politik yang diciptakan Orde Baru. Adapun perubahan yang sangat berpengaruh terhadap masyarakat desa adalah ; Pertama, dihapusnya Dwi fungsi ABRI secara bertahap dan kedua, diberlakukanya UU Otonomi daerah yakni UU No,22 tahun 1999 menggantikan UU No.5 tahun 1974.
Dengan dihapuskannya Dwi fungsi ABRI, berakhirlah mekanisme kontrol dari negara. Paradigma militer yang sebelumnya membuat peran Militer – BABINSA – di desa dominan, menjadi tidak sekuat dulu. Peran Babinsa ditempatkan sebagi unsur pertahanan dan tidak lagi sebagai unsur keamanan dan peran lainnya.( Annual Report Lapera, 2002-2004)
Demikian juga dengan digantikannya UU No.5 tahun 1979 dan UU No.5 tahun1974 dengan UU No.22 tahun 1999 (UU Otonomi Daerah), telah membuat Pemerintah Pusat tidak lagi melakukan kontrol yang kuat terhadap Kabupaten dan Desa. Sebab, di dalam UU ini pemerintah kabupaten dan kota telah mendapatkan wewenang yang lebih besar mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan demikian banyak wewenang pengaturan desa yang dimiliki oleh pemerintah pusat didelegasikan ke pemerintahan kabupaten. Artinya, rakyat desa akan lebih mudah untuk terlibat dalam setiap proses kebijakan yang berkaiatn dengan kepentingannya sendiri.
Undang-undang ini juga telah memberikan ruang otonomi desa tumbuh dan berkemabang, karena UU ini telah mengakui hak asal-usul desa, dan tidak lagi menempatkan desa sebagai wilayah administratif di bawah Kecamatan. Ruang otonomi desa inilah yang kemudian diharapkan mampu menjadi jalan menuju demokratisasi desa yang demokratis. Sebab dalam UU ini, hubungan kewenangan langsung antar desa dengan Kabupaten, dengan memberikan hak pada desa untuk mempunyai posisi tawar dengan kabupaten. Selain itu, Kepala Desa tidak lagi ditempatkan sebagai penguasa tunggal di desa, karena UU baru ini, telah mendorong munculnya sebuah lembaga baru yangberperan sebagai wadah  perwakilan warga desa, yaitu Badan Perwakilan Desa (BPD) atau dengan nama lain. Anggota BPD ini dipilih secara langsung oleh warga desa dan posisinya sejajar dengan Kepala Desa.
Keberadaan Badan Perwakilan Desa (BPD) sebagai lembaga baru berada dalam posisi yang sangat penting untuk mewujudkan demokratisasi desa kearah demokrasi desa, serta upaya menuju desa yang otonom. Karena UU ini telah menempatkan BPD menjadi lembaga yang berada pada posisi sejajar dengan keala desa. Dengan demikian Kepala Desa tidak dapat lagi menjadi penguasa tunggal di desa. Sebagaimana yang dimuat dalam pasal 36 UU No.22 tahun 1999 yang menyebutkan fungsi BPD adalah :
Pertama ; Mengayomi; yaitu menjaga adat istiadat yang hidup dan berkembang sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan. Kedua; Legislasi; yaitu merumuskan dan menetapkan peraturan desa bersama-sama dengan pemerintah desa. Ketiga; Pengawasan; yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan desa, anggaran belanja, serta keputusan kepala desa. Keempat; Menampung aspirasi masyarakat; yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima dari masyarakat kepada pejabat atau instansi yang berwenang.
Dengan demikian keberadaan UU No.22 tahun 1999 telah memberikan peluang besar bagi demokratisasi dan partsipasi di internal desa dan antara desa dengan eksternal desa, Keberadaan lembaga BPD sebagai lembaga baru di desa menempati posisi yang sangat penting. Akan tetapi memang perlu disadari bahwa peluang ini tidak segera terwujud, sebab kita tidak dapat berharap perubahan kebijakan akan langsung mendadak pada perubahan watak dan kapasitas dari pelaksanaanya.