Demokrasi dan Demokratisasi Desa
Demokrasi
Demokrasi adalah
sebuah bentuk pemerintahan oleh rakyat.
Jalan konkrit untuk mengorganisasikan bentuk pemerintahan ini dan pertanyaan
mengenai kondisi dan pra kondisi yang dibutuhkan telah di perdebatkan secara
intensif selama beberapa abad. Tentu saja sumbangan pertama dalam diskusi ini berasal
dari jaman Yunani kuno.
Istilah
demokrasi berasal dari gabungan dua kata bahasa Yunani : demos (rakyat) dan
kratos (pemerintah). Defenisi “pemerintah oleh rakyat” mungkin terdengar lugu,
tetapi pengertian tersebut segera memunculkan
sejumlah isu yang kompleks. Isu-isu terpenting yang dirangkum jitu dalam
sebuah laporan baru-baru ini: Siapakah
yang dimaksud dengan “rakyat”
Jenis
partisipasi apakah yang dianggap kondusif bagi partisipasi, Dapatkah
disisentifkan, atau biaya dan manfaat, dari partisipasi dibuat sama. Seberapa
luas dan seberapa sempit lingkup pemerintahan yang dimaksud. atau bidang apakah
yang cocok bagi kegiatan demokrasi. Jika “pemerintah” mencakup politik, apakah
maksudnya. Apakah meliputi; hukum dan tata tertib, hubungan antara negara,
ekonomi, dan bidang dalam negeri atau bidang privat. Apakah pemerintah oleh
“rakyat” harus dipatuhi, adakah wadah untuk kewajiban dan perbedaan-perbedaan; Mekanisme
apakah yang diciptakan bagi mereka yang secara aktif di nyatakan sebagai
“non-partisipan”; Dalam keadaan apakah, jika ada, demokrasi berhak mengambil
jalan kekerasan terhadap rakyatnya sendiri atau terhadap mereka yang berada
diluar bidang pemerintahan yang sah. ( Georg Sorensen, 2003, hal; 2)
Terlihat dengan
mudah bahwa pembicaraan mengenai demokrasi harus meliputi tidak hanya teori
tentang cara-cara yang dimungkinkan untuk mengorganisasikan pemerintahan oleh
rakyat, tetapi juga filsafat tentang apa yang seharusnya (yaitu cara-cara
terbaik membangun pemerintahan) dan pemahaman tentang pengalaman praktis
mengorganisasikan pemerintahan dalam masyarakat yang berbeda pada waktu yang
berbeda.
Demokrasi,
seperti yang dirumuskan oleh Joseph Schumpeter
secara sempit adalah :
“Baginya
demokrasi secara sederhana merupakan sebuah metode politik, sebuah mekanisme
untuk memilih pemimpin politik. Warga negara di berikan kesempatan untuk
memilih salah satu diantara pemipimpin-pemimpin politik yang bersaing meraih
suara. Diantara pemilihan, keputusan dibuat oleh politisi. Pada pemilihan
berikutnya, warga negara dapat mengganti wakil yang mereka pilih sebelumnya.
Kemampuan untuk memilih diantara pemimpin-pemimpin politik pada masa pemilihan
inilah yang disebut dengan demokrasi”.
Dalam kalimat Schumpeter, “metode
demokrasi adalah penataan kelembagaan untuk sampai pada keputusan politik
dimana individu meraih kekuasaan untuk mengambil keputusan melalui perjuangan kompetitif
untuk meraih suara” (J. Schumpeter, 2003: hal; 13-14).
Sedangkan
pengertian secara komperhensif yang di uraikan oleh David Held, Held
menggabungkan pemahaman pendangan liberal dan tradisi Marxis untuk sampai pada
arti demokrasi yang mendukung suatu prinsip dasar otonomi :
“Orang seharusnya bebas dan setara dalam
menentukan kondisi kehidupannya; yaitu, mereka harus memperoleh hak yang sama
(dan, karena itu, kewajiban yang sama) dalam suatu kerangka pikir yang
menghasilkan dan membatasi peluang yang tersedia untuk mereka, asalkan
menyebarkan kerangka pikir ini untuk meniadakan hak-hak oranglain”.
Pembuatan
prinsip tersebut, yang oleh Held disebut sebagai otonomi demokrasi (democratic
autonomy), membutuhkan baik akuntabilitas negara dalam derajat yang tinggi dan
suatu pemesanan kembali masyarakat sipil. Otonomi demokrasi meramalkan
partisipasi substansial secara langsung pada lembaga-lembaga komunitas lokal
dan manajemen diri (self-management) perusahaan umum. Otonomi demokrasi
membutuhkan pernyataan hak-hak manusia (bill of ringhts) di luar hak memilih
untuk memberikan kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dan untuk menemukan
preferensi pribadi dan pengawasan akhir poleh warga negara terhadap agenda
politik. (Held, 2003: hal; 14-15).
Demokrasi
tidak haya berarti hak memilih pemerintah meskipun ini juga hal sangat penting.
Demokrasi merupakan keseluruhan bentuk hak yang harus bisa dimiliki oleh warga
negara apabila suatu pemerintahan itu terbuka, dapat dipercaya dan
partisipatif. Hak-hak ini meliputi kebebasan mengeluarkan pendapat, kebebasan
pers, kebebasan berserikat, misalnya serikat buruh atau kelompok penekan; akses
kepada informasi khususnya menangani rencana pemerintah terutama bagi mereka
yang trekena secara langsung dan hak untuk diajak bicara dalam keputusan
seperti ini, serta kebebasan dari segala bentuk diskriminasi, apakah itu
berdasarkan jenis kelamin, ras ataupun agama.
Apabila
didefenisikan secara luas, demokrasi telah dikumandangkan tidak hanya oleh para
pemimpin Revolusi Eropa Timur dan tempat-tempat lainnya, tetapi juga
dikumandangkan oleh gerakan-gerakan rakyat diseluruh dunia. Gerakan wanita
telah mengikis banyak kendala yang melingkupi setengah umat manusia yang berada
dalam status inferior (rendah). Gerakan lingkungan telah memaksa para pemimpin
politik dan bisnis untuk kembali melihat sumber daya alam dengan penglihatan
baru. Dan kampanye di banyak negara oleh suku-suku yang terancam dengan adanya
“kemajuan” telah membawa penduduk asli menjadi sorotan.
Kekuatan
yang mengendalikan gerakan-gerakan ini adalah arti rasa sukarela yang datang
secara bersamaan baik oleh pria maupun wanita dengan satu tujuan bersama yaitu
keinginan untuk memperbaikan masyarakat dimana mereka hidup dengan cara menuntut perubahan dari para penguasa.
Satu-satunya kekuatan tawar menawar yang mereka miliki adalah kekuatan dari
segi jumlah mereka, argument mereka yang persuasif dan penampilan kerakyatan
yang mereka miliki. Sesungguhnya mereka juga merupakan organisasi volunteer
yang memperjuangkan terwujudnya tatanan masyarakat tanpa penindasan dan
diskriminatif yang terbingkai dalam kehidupan pemerintahan yang demokratis. ( Jhon Clark, 1995: hal;18).
Demokrasi Desa.
Di Indonesia,
demokrasi modern baru dikenal pada awal Abad ke-20 dan pada tahun 1918
disimulasikan dalam volksraad ( konsep kerakyatan). Tentu saja demokrasi disini
yang dimaksud demokrasi Barat yang sudah lewat Revolusi Perancis, lewat Belanda
ke Hindia Belanda.Ternyata demokrasi yang dimasukkan Belanda lewat volksraad
itu berkembang di Indonesia bersama dengan demokrasi yang dirancang oleh
kelompok intelektual Indonesia hasil pendidikan Belanda lewat politik etiknya.
Maka dalam
perkembangannya, pemerintahan yang berkembang yaitu pemerintahan yang sudah
berlaku cukup lama dalam skala yang luas yang membawahkan desa-desa diseluruh
Indonesia. Seperti diketahui pemerintahan yang sudah berjalan cukup luas dan
yaitu kerajaan-kerajaan Hindu yang kemudian dicampuri dengan kerajaan Islam,
yang kemudian ditumpangi dengan birokrasi modern yang diciptakan oleh Belanda
untuk menghisap kekayaan Indonesia di desa-desa lewat masyarakat desa yang
dijadikan tenaga kerja yang murah untuk menunjang eksploitasi Belanda itu.
Akhirnya berkembanglah birokrasi yang hirarkis tetapi semua memeras desa untuk
memenuhi kebutuhan pemerintahan yang
diatasnya yang berpuncak pada Gubernur Jendral dan akhirnya Raja Belanda.
Pada waktu
Proklamasi kemerdekaan yang diikuti dengan perang kemerdekaan sampai tahun
1949, desa menjadi tempat pengungsi penduduk kota dan markas Tentara Nasional
Indonesia (TNI) serta gerakan perjuangan melawan Belanda yang aman dan mampu
menyediakan logistik yang lumayan untuk mengadakan perlawanan. Akan tetapi
sesudah Belanda meninggalkan Indonesia dan Indoensia merdeka dalam arti Belanda
sudah tidak menjajah lagi, desa kembali pada posisi semula yaitu merupakan
dasar hirarki pemerintahan yang sudah dibangun oleh Belanda dulu yaitu
pemerintahan pusat, karesidenan, kabupaten, kecamatan, desa. Kecuali lembaga
tradisional yang dimiliki desa untuk kepentingan rakyat desa juga mendapat
perintah kecamatan, sehingga demokrasi desa yang dibawah pimpinan primus inter
pares (orang-orang yang dianggap tua dan terhormat) itu tidak sempat mengurusi
kepentingan rakyat desa sendiri, tetapi makin lama makin menjadi kepanjangan
pemerintahan atasan, yang mematikan demokrasi desa.
Secara historis,
demokrasi desa kemudian menjadi mandeg dan tidak berkembang karena pengaruh
dari luar berupa kerajaan Hindu, kerajaan Islam, kemudian ditumpangi birokrasi
kolonial yang dibangun oleh Belanda yang dilanjutkan oleh Jepang. Baru pada
waktu Proklamasi, orang-orang desa mendapatkan kesempatan melawan penjajah
beserta kelompok intelektual dari kota. Namun sesudah penjajah dapat diusir,
rupanya kelompok intelektual membangun suatu rezim yang diduga juga tidak
banyak memberi kesempatan kepada desa untuk mengembangkan demokrasi-nya yang
sudah berhenti berhimpit berabad-abad tersebut.
Kita ketahui,
memang setelah Indonesia merdeka, desa menjadi bebas dalam arti kembali
seolah-olah tetap berjalan dengan dasar hukum IGO ( Inlandse Gemeene
Ordonanntie) yaitu dasar hukum kepada desa di Jawa dan Madura dan IGOB (Inlandse
Gemeene Ordonanntie Buitengewesten) yaitu dasar hukum bagi desa di luar Jawa,
yang mempertahan kan demokratisme dan otonominya, bahkan nantinya dengan
kekayaanya, desa menjadi penyandang logistik para gerilyawan dalam periode
1945-1950. Namun sejak tahun 1945 ketika Pemerintah mengeluarkan Maklumat 14
November 1945 sebagai tindak lanjut Maklumat No.X dan Maklumat Pemerintah 3
November 1945, maka partai Politik mulai masuk ke desa-desa. Dalam hal ini
Sultan Hamengku Buwono IX sebagai salah seorang pemimpin yang mendukung
Proklamsi Kemerdekaan di Yogyakarta mengeluarkan peraturan yang disebut
Maklumat No.7 tahun 1945 untuk mengatur Dewan Perwakilan Kelurahan yang harus
dipilih rakyat, kemudian Maklumat No.14/1946 mengatur Majelis Permusyawaratan
Desa dan Maklumat No.15/1946 mengatur pemilihan Kepala Desa untuk menyesuaikan
Yogyakarta dengan UUD 1945 dan daerah-daerah lain yang tidak istimewa. Dewan
Kelurahan dipilih oleh penduduk desa yang sudah berumur 18 tahun dan sudah enam
bulan tinggal di desa itu, Pamong desa dipilih oleh penduduk desa dan majelis
desa terdiri atas kepala keluarga yang tinggal di desa itu. Dengan demikian,
demokrasi desa dapat dijalankan dengan teratur.
Ini adalah
sebuah kondisi desa yang cukup membanggakan, dalam artian harkat dan martabat
desa beserta seluruh warganya benar-benar dijamin dan diakomodir. Akan tetapi,
ketika Belanda sudah meninggalkan Indonesia, mulailah Indonesia mengatur
pemerintahan sendiri tahun 1950 dengan menyatakan UUD sebagai undang-undang
dasarnya. Pada waktu itu desa tidak diatur tersendiri, sedangkan daerah diatur
dengan UU No.22 Tahun 1948, kemudian diganti dengan UU No.1/1957, desa juga
tidak diatur tersendiri. Baru tahun 1965 keluarlah UU No.19/1965 tentang
Desapraja. UU No.19/1965 ini mencabut semua peraturan perundang-undangan yang
mengatur desa sejak jaman Belanda dan jaman Jepang. Desapraja yang akan
dibentuk merupakan penigkatan desa atau dengan nama lain seperti negari menjadi
Daerah Tingkat III, yang kecuali mengurus urusan rumah tangganya, juga diserahi
urusan dari daerah Tingkat II. Desaprja dipimpin oleh Kepala Desapraja yang
didampingi Lembaga Legislatif Musyawarah Desapraja. Namun UU No.19/1965 ini
tidak sempat diberlakukan karena terjadi Pemberontakan 30 September 1965.
Ketika pada
Tahun 1979 keluarlah UU No.5/1979 tentang Pemerintahan Desa, dengan UU
No.5/1979 ini regim Soeharto mengikat Pemerintah Desa lewat Kepala Desa, sebab
Kepala Desa sekaligus sebagai Kepala LKMD lembaga eksekutif desa dan LMD,
lembaga legislatif desa. Rakyat desa diinstruksikan lewat Kapala Desa, sehingga
Pemerintaha Pusat dapat melaksanakan programnya secara penuh di desa, apakah
sesuai dengan kebutuhan rakyat atau tidak. Dengan demikian Kepala Desa
dijadikan alat sebagai penguasa tunggal di desa seperti halnya Bupati dan Gubernur.
Inilah akhir dari otonomi dan demokrasi di desa, dan berlangsung dari tahun
1965 sampai sekarang. (Prof. Dr. Suhartono, 2000; hal; 17-26)
Perjalanan kehidupan sistem
pemerintahan di desa, begitu kuat mendapat cengrakaman dari pemerintah pusat, sehingga
berdampak pada minimnya kreatifitas masyarakat desa dan menciptakan
ketergantungan yang “sakaoism” terhadap pemerintah pusat, desa seakan tidak
masuk dalam kebijakan politik pembangunan nasional, berbagai proses ekspolitasi
terhadap desa kian gencar dilakukan, sehingga bukan lagi menjadi “surga” bagi
masyarakatnya dan tidak salah lagi ketika banyak warga desa yang hijrah ke
kota, sebab di desa tidak adalagi tempat yang damai untuk hidup mencari
kehidupan. Musyawarah dan mufakat yang sering dilakukan oleh masyarakat desa
dalam menyelesaikan setiap permasalahan yang dihadapinya telah diubah menjadi
konsep sepakat dan sepaham oleh pemerintah pusat, dan iornisnya semua itu
dilakukan atas nama demokrasi dan kesejahteraan bagi masyarakat desa. Desa
dikontrol dan dicengkram melalui instrumen birokrasi, yang akhirnya
birokratisasi dan hirarkis pada pelaksanaan fungsi dan peran pemerintahan desa.
Birokratisasi Desa dalam sistem
Pemerintahan nasional di republik ini, melalui pemberlakukan UU No.5 tahun 1979
tentang pemerintahan di Desa (lembaran Negera Tahun 1979 Nomor 56, tambahan
lembaran Negara Nomor 3153) selanjutnya disingkat UUPD No.5/1979, telah
menimbulkan dampak yang tidak kecil. Dalam strategi birokratisasi desa itu,
meski otonomi desa juga disinggung-singgung, setyidaknya Pasal 18 UUD 1945 juga
menjadi konsiderans UUPD No.5/1979, desa tidak hanya diubah statusnya, yakni
dari ‘masyarakat hukum’ menjadi ‘sekumpulan orang yang tinggal bersama….’,
melainkan dalamnya juga dicangkokkan sebuah institusi baru yang disebut
Pemerintahan Desa.
Bersamaan dengan itu governance
system (sistem pengelolaan dan atau pengurusan hidup bersama) yang ada
ditingkat komunitas, dimana di dalamnya tercakup government system (sistem
pemerintahan), digantikan oleh suatu sistem pengolaan dan atau pengurusan hidup
bersama yang baru, yang sama sekali berbeda dan karenanya asing bagi warga
desa. Padahal, sejatinya, ada perbedaan ‘rasa keadilan’ yang amat besar antara
desa sebagai suatu ‘persekutuan sosial’ dengan desa sebagai suatu ‘satuan
administrasi pemerintahan’. Ada rasa keadilan yang hidup dalam desa yang tidak
tertampung dalam desa baru sebagai ‘satuan administratif pemerintahan’ itu.
Demikian pula ada aturan-aturan yang ada dalam ketentuan administratif
pemerintahan desa itu yang tidak sesuai dengan ‘rasa
keadilan’ masyarakat desa yang umum berlaku. Desa yang semula hidup diatas
dasar sentimen paguyuban, misalnya, diubah menjadi suatu institusi yang katanya
‘rasional’.
Dengan pemberlakuan UU No.5/1979
desa dipecah dan atau digabungkan satu sama lainnya, untuk menjadi sebuah ‘desa
gaya baru’. Akibatnya uniformitas dari sistem pemerintahan tersebut, warga desa
harus memaksakan diri untuk hidup pada alam yang tidak sesuai dengan
‘fisiknya’. Desa bukan di ‘demokrasikan’, akan tetapi di ‘dis-demokrasi’
melalui birokratisasi yang uniformitas tersebut.
Karena demokrasi adalah sebuah
konsep inklusif, maka demokrasi pada dasarnya desa beserta warganya harus
ditempatkan pada ‘alam’ yang sesuai dengan ‘tanah kelahiran dan adat istiadatnya’,
dan bukan dipaksakan untuk mengelaborasikan diri. Oleh karena itu, menjadi
sangat penting pemerintahan oleh rakyat. “rakyat dalam hal ini pada prakteknya
memang dibatasi dengan beberapa cara : Mayoritas warga berhak memilih dan
pilih, dan seterusnya. Dengan katalain, memang pada prakteknya tidak seluruh
rakyat per individu bisa terlibat dalam proses demokratik, namun paling tidak
semua elemen masyarakat yang eligible terakomodasi disana.
Demokrasi modern dihadapkan pada
kenyataan kompleksitas masyarakat, sehingga pemilihan dan perwakilan menjadi
asas yang sangat penting didalamnya, sebagai alternatif terhadap demokrasi
secara langsung yang bisa diterapkan dalam masyarakat yang sederhana
Demikian halnya membangun demokrasi
di desa, sudah barang tentu tidak bisa dilihat hanya sebatas pada desa itu
sendiri. Hal yang tidak bisa diabaikan adalah, bagaimana relasi yang terbangun
antara desa dan kekuatan di luar. Persoalan ini hendaknya menunjuk bahwa apapun
usaha yang dilakukan apabila desa tetap menjadi sub-ordinasi dari kekuatan
diatasnya, maka perubahan yang berarti tidak akan pernah bisa diwujudkan.
Sebaliknya, desa sebagai basis masyarakat mayoritas, apabila tidak bisa
ditranformasikan menjadi kekuatan demokrasi, maka sangat mungkin akan sulit
untuk membangun demokrasi dalam arti yang sesungguhnya. (Annual Report, IRE, 2001-2002;).
Demokrasi desa yang dimaksud adalah
bukan hanya upaya menumbuh kembangkan partisipasi masyarakat desa itu sendiri,
akan tetapi lebih menekankan pada proses pemberdayaan masyarakat desa dengan
melakukan pembaruan relasi masyarakat
dan negara, dengan tujuan untuk memposisikan desa bukan sebagai pemerintahan
terkecil atau terendah dalam sebuah ketatanegaraan, namun dalam konteks
demokrasi desa, desa lebih pandang sebagai mitra pemerintah dalam membangun
bangsa atau dengan lain kata desa harus dipandang sebagai potensi perubahan.
Desa sebagai basis masyarakat dengan
corak lokalitas dan kultur budaya yang masih kental, maka hendaknya demokrasi
harus diterapkan secara universal yaitu;
adanya pengakuan hak-hak dasar (asasi) manusia sebagai jaminan untuk dapat
mengemukakan ekspresi politik tanpa intimidasi; adanya pluralisme yang menjadi
syarat bagi munculnya ide-ide yang berbeda; adanya kompetisi bebas yang
didasarkan pada aturan main yang jelas; dan adanya persamaan
(kesetaraan/equality) bagi seluruh warga masyarakat dalam aktivitas politik.
Menurut Soetarjo Kartohadi Koesoemo
(1984: 15) arti kata desa, desi, seperti juga perkataan negara, negeri, negaro,
negory, asalnya dari perkataan sansakerta, yang artinya tanah air, tanah asal,
tanah kelahiran. Sebagaimana ditulis oleh Geertz (2000), desa merupakan sebutan
dari negara. Desa memiliki arti “daerah pedalaman”, “daerah”, atau “daerah yang
diperintah”. ( Suhartono W Pranoto, 2001:hal; 8).
Desa
pengertiannya tergantung dari pengertian yang digunakan. Untuk itu dapat kita
lihat beberapa pengertian dari beberapa sudut pandang umum (popular), sudut
pandang ekonomi, sudut pandang sosiologis, dan sudut pandang hukum-politik.
Untuk memperjelas pemahaman, maka dari pengertian yang ada kemudian akan
ditarik sejumlah ciri desa dan sedapat mungkin di kontraskan dengan ciri kota.
Sedangkan dalam
pengertian umum atau pengertian yang
sudah dikenali dan dipergunakan oleh masyarakat umum dalam kehidupan
sehari-hari. Pengertian tersebut biasanya dapat ditemukan dalam kamus, atau
dalam perbincangan masyarakat luas.
Masyarakat umum memahami desa
sebagai tempat bermukimnya suatu penduduk dengan peradaban yang lebih
terbelakang dari pada kota. Biasanya ditandai oleh bahasa ibu yang kental,
tingkat pendidikan yang relatif rendah, mata pencaharian yang umumnya disektor
pertanian. Bahkan terdapat kesan kuat bahwa desa tempat bermukim para petani.
Pengertian lain, dapat kita jumpai
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (1993:200) yang menyebutkan bahwa desa
adalah (1) sekelompok rumah diluar kota yang merupakan kesatuan; kampong;
dusun; (2) udik atau dusun (dalam kata arti daerah pedalaman sebagai lawan
kota); (3) tempat, tanah, daerah, penegrtian ini (pengertian yang disusun oleh
orang kota) berangkat dari kontras pemahaman mengenai kota. Penegrtian ini
menunjukkan beberapa ciri: pertama bahwa desa merupakan suatu lokasi pemukiman
diluar kota, sekaligus bukan kota. Kedua, desa adalah suatu komunitas (kesatuan),
sangat jelas ditunjukan bahwa desa merupakan komunitas yang homogen. Dan
ketiga, desa menunjukkan suatu sifat dari lokasi sebagai akibat dari posisi
yang ada di pedalaman dengan kata lain terbelakang. Pengertian ini mengandung
unsur sosiologis, selain bias kota yang sangat kentara, dengan demikian posisi
marginal orang desa dalam wacana, merupakan konstruksi orang kota.
Dalam pengertian
sosiologis, desa digambarkan sebagai suatu bentuk kesatuan masyarakat atau
komunitas penduduk yang bertempat tinggal dalam suatu lingkungan dimana mereka
saling mengenal dan corak kehidupan mereka relatif homogen serta banyak
tergantung pada alam, ( Maschab, 1992). Lebih jauh beliau menyebutkan bahwa
dalam pengrtian sosiologis desa diasosiasikan dengan masyarakat yang lebih sederhana,
pada umumnya hidup dari lapangan pertanian, ikatan sosial, adat istiadat dan
tradisi masih kuat sifat jujur dan bersahaja, pendidikan yang relatif rendah
dan lain sebagainya.
Gambaran
tersebut, pada dasarnya menonjolkan desa selain memuat segi-segi dan sifat
positif, seperti kebersamaan dan kejujuran, namun dipandang pula mengandung
ciri negatif, seperti kebodohan dan keterbelakangan, seperti sebagian buta
huruf, masyarakt bertani, masih belum mengenal teknologi tinggi dan masih
menggunakan bahasa pengantar bukan Bahasa Indonesia, masih menjadi citra desa.
Pandangan
(sosial) ekonomi yang menekankan sisi produksi, melihat desa sebagai komunitas
yang memiliki model produksi yang khas (Wiradi, 1988). Desa mengandung arti
sebagai tempat orang hidup dalam ikatan keluarga dalam suatu kelompok perumahan
dan saling ketergantungan yang besar di bidang sosial dan ekonomi. Desa
biasanya terdiri dari rumah tangga petani dengan kegiatan produksi, konsumsi
dan investasi sebagai hasil keputusan keluarga bersama (Hayami Kikuchi.
1987:hal; 11)
Dilihat dari
sudut pandang hukum dan politik yang lebih menekankan kepada tata aturan yang
menjadi dasar pengaturan kehidupan masyarakat, desa dipahami sebagai suatu
wilayah kesatuan hukum dimana bertempat tinggalnya suatu masyarakat, yang
berkuasa (memiliki wewenang) mengadakan pemerintahan sendiri
(Kartohadikoesoemo, 1984: 16, Wiradi, 1988). Pengertian ini sangat menekankan
adanya otonomi untuk membangun tata kehidupan desa bagi kepentingan penduduk.
Dalam pengertian ini terdapat kesan yang kuat, bahwa kepentingan dan kebutuhan
masyarakat desa, hanya dapat diketahui dan disediakan oleh masyarakat desa
bukan oleh fihak luar.
Namun demikian, selain dari empat
pengertian yang dikemukakan berdasarkan konsep dan pemahaman yang berbeda-beda,
terdapat juga penegrtian lain yang bersebrangan dengan pengertian tersebut
diatas. Kebijakan Pemerintahan Desa pada UU No. 22 Th 1999, desa diberi
pengertian baru sebagai :
“ Kesatuan
wilayah masyarakat hukum yang memiliki kewenangan untuk mengatur dan mengurus
kepentingan masyarakat setempat berdasarkan asal-usul dan adat setempat yang
diakui dalam sistem pemerintahan nasional dan berada daerah kabupaten.”
Dengan demikian
dapat dikatakan bahwa, pengertian yang termuat dalam undang-undang secara jelas
menempatkan desa sebagai suatu organisasi pemerintahan atau organisasi
kekuasaan yang secara politis memiliki wewenang tertentu untuk mengatur warga
atau komunitasnya. Baik sebagai akibat posisi politiknya yang merupakan bagian,
atau hak asal-usul dan adat yang dimiliki (UU No.22 Th. 1999). Namun demikian
dalam pengertian ini masih belum tergambar secara jelas, mengenai kualitas
otoritas yang dimiliki desa. Terutama berkaitan dengan kekuatan politik di
atasnya, yaitu negara.
Jadi,
berdasarkan uraian diatas, maka yang dimaksud dengan demokrasi desa adalah
sebuah tatanan masyarakat dengan sistem lokalitas yang mengedepankan
kerjasama dalam menyelesaikan suatu
pekerjaan dan bermusyawarah dan mufakat bila
mengahadapi masalah dan mencari solusinya tanpa intervensi yang
berlebihan pemerintah pusat atau supra desa. Dengan katalain, demokrasi desa
merupakan ruang dimana masyarakat desa dapat mengatur tatanan pemerintah
sebagai rumah tangganya sendiri yang dikelola sesuai inisiatif dan
kreatifitasnya serta sesuai dengan hak dan adat istiadat yang dimiliki, dan
pemerintah (supra desa) hanya berperan sebagai mitra yang sifatnya membantu
untuk bekerjasama, dengan demikian akan menempatkan desa sebagai demokrasi yang
otonomi ( democratic autonomy) atau demokrasi desa yang asli.
Demokratisasi Desa
Demokrasi
sebagai sebuah paham yang meletakkan kedaulatan tertinggi berada di tangan
rakyat desa. Menurut mayo sistem yang demokratis, terwujud bila pengambilan
keputusan secara efektif berada dibawah kontrol masyarakat. Dengan demikian
berarti demokratisasi menuju demokrasi desa akan terwujud apabila rakyat desa
telah mampu melakukan kontrol terhadap proses pengambilan keputusan baik
ditingkat desa sendiri, maupun dilevel supra desa yang menyangkut hak hidup
rakyat desa. Adapun prasarat yang harus muncul bagi demokratisasi atau tumbuh
dan berkembangnya demokrasi di pedesaan adalah :
·
Adanya
pembagian kekuasaan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Pembagian kekuasaan
akan membuat terjadinya perimbangan kekuasaan yang akan menutup peluang
munculnya “raja kecil” dan otoritarianisme di Desa.
·
Adanya
pemilihan secara langsung oleh rakyat terhadap penyelenggara pemerintahan.
·
Adanya
jaminan bagi rakyat desa untuk berpartisipasi baik dalam proses penentuan
pelaksanaan pemerintahan, maupun dalam proses pemerintahan.
·
Kewenangan
yang besar pada level pemerintahan terkecil (otonomi desa) untuk menentukan
proses pemerintahan baik yang berkaitan secara politik, ekonomi, maupun sosial
dan budaya.
·
Kewenangan
yang besar akan membuat rakyat desa dengan pembuat keputusan sehingga
mempermudah rakyat mendapatkan layanan yang maksimal, sekaligus melakukan
kontrol.
·
Adanya
civil society yang kuat dan bermakna. ( Tumpal. P. Saragi ; 2004)
Desa mempunyai
posisi yang strategis di Indonesia, sebab desa adalah tempat mayoritas
sekaligus penyedia utama bahan baku pangan dan untuk keperluan industri. Tetapi
pada kenyataannya sepanjang sejarah posisi ini tidak membuat desa menjadi kuat,
dalam arti dapat berpartisipasi aktif, bila berhadapan dengan kekuatan yang ada
diluar desa (supra desa). Dari posisi ini membawa akibat banyak kekuatan
politik dan ekonomi yang berusaha melemahkan desa, guna mengambil keuntungan
politik maupun ekonomi. Akibatnya, dalam sejarah pedesaan Indonesia dari masa
kerajaan, kolonial, sampai masa kemerdekaan, desa selalu menjadi objek
eksploitasi dari kekuatan politik dan ekonomi yang berasal dari luar desa.
Puncak dari proses pelemahan desa justru terjadi pada jaman kemerdekaan, ketika
rezim orde baru berkuasa, yang lebih ironisnya lagi, pelemahan dan penindasan
terhadap desa tersebut juga terjadi pada era reformasi yang sebagian orang
mengatakan ‘eranya demokrasi’. Berikut ini akan diuraikan dinamika
demokratisasi desa di Indonesia dimulai dari masa regim orde baru.
Masa Orde baru
Masa Orde Baru
ditandai oleh semangat negara yang mengejar pertumbuhan ekonomi dengan jalan
menciptakan kondisi politik yang stabil yang harus dijamin dengan sistem
otoriter. Dalam sistem ini desa harus dapat dijadikan sebagai objek untuk
mencapai tujuan pertumbuhan ekonomi. Semangat inilah yang menyebabkan regim
Orde Baru melakukan segala cara untuk melemahkan desa.
Adapun rezim
Orde Baru melemahkan desa, adalah dengan membuat sebuah sistem kontrol langsung
terhadap desa. Yakni dengan langsung masuk kedalam desa, dan melakuka kontrol
dengan dua cara, yakni melalui birokrasi dan militer. Cara militer dilakukan
dengan memperalat militer dengan memperluas jaringan dan memperbesar peran
Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Jaringan militer diperluas dengan
membuat jaringan sampai masuk kedaerah pedesaan, melalui penempatan Bintara
Pembinan Desa (Babinsa). Peran ABRI di perluas dengan tidak hanya mengurusi
persoalan pertahanan, tetapi juga mengurusi persoalan keamanan dan
sosial-politik, yakni menjadi pengawas dan Pembina Kepala Desa untuk
mengamankan program pembangunan Orde Baru.
Sedangkan
kontrol dengan menggunakan biorkrasi sebagai alat, dilakukan dengan cara
mengeluarkan UU No.5 tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. UU ini telah
menempatkan kepemimpinan Kepada Dsa yang dipilih secara langsung oleh rakyat,
hanya sebagai alat perpanjangan birokrasi dari pemerintah pusat. Hal ii
disebabkan dalam undang-undang ini, Desa diintegrasikan sebagai bagian
administrasi Pemerintah Pusat. Desa dijadikan sebagai satu kesatuan masyarakat
hukum yang mempunyai organisasi pemerintahan terendah dibawah Camat. Selain
itu, undang-undang ini juga memberikan kekuatan kepada Kepala Desa sebagai alat
dari Pemerintah Pusat untuk melakukan kontrol terhadap rakyat desa, dengan menempatkan
Kepala Desa sebagai penguasa tunggal dari setiap aktivitas di desa. Dengan
melakukan kontrol yang ketat, Pemerintah Orde Baru dapat dengan leluasa
melakukan mobilisasi sumber daya manusia dan sumber daya alam di desa, guna
mengejar pertumbuhan ekonomi.
Dengan membuat
rakyat menjadi lemah, Orde Baru telah membuat rakyat teraisng dalam proses
pengambilan keputusan. Memang, kata partisipasi adalah kata yang sering
digunakan oleh Pemerintahan Orde Baru, tetapi kata ini kemudian mengalami
pendangkalan makna. Dalam hal ini, partisipasi hanya dimaknai dengan
keterlibatan rakyat dalam melaksanakan program-program pembangunan pemerintah
Orde Baru.
Setelah berjalan
selama tiga puluh tahun, ternyata kebijakan pembangunan desa hanya menafikan
partisipasi masyarakat desa, tidak mengahsilkan sebuah kondisi kehidupan yang
lebih baik, tetapi justru menimbulkan kondisi yang memprihatinkan masyarakat
desa. Kondisi ini berupa pelanggaran Hak Asasi Manusia (HAM), rusaknya tatanan
kelembagaan lokal, hancurnya lingkungan hidup dan yang lebih memperihatinkan
lagi adalah hilangnya kemampuan desa untuk mandiri. Semua disebabkan hancurnya
daya inisiatif dan kreatifitas rakyat desa, karena berkembangnya budaya
menunggu perintah dari atasan.
Kekuasaan
sentralistik dan otoriter yang berdampak pada kondisi masyarakat kian tertekan.
Akibatnya, rakyat melakukan perlawanan terhadap penguasa. Bersamaan dengan
krisis ekonomi yang terjadi pada tahun 1998, gerakan mahasiswa didukung rakyat,
hadir dan menyuarakan agar terjadinya reformasi politik di Indoneisa. Akhirnya
gerakan reformasi politik dilakukan mahasiswa, berhasil menumbangkan Persiden
Soeharto yang merupakan tulang punggung regim Orde Baru. Tumbangnya Soeharto
ini menjadi awal bagi bergulirnya reformasi politik di Indonesia.
Masa Transisi
Setelah
reformasi politik bergulir, rakyat menuntut dilakukan perubahan terhadap
tetanan politik yang dibangun regim Orde Baru. Pemerintahan masa Presiden B.J.
Habibie mengakomodasi tuntutan tersebut dengan melakukan perubahan terhadap
mekanisme politik yang diciptakan Orde Baru. Adapun perubahan yang sangat
berpengaruh terhadap masyarakat desa adalah ; Pertama, dihapusnya Dwi fungsi
ABRI secara bertahap dan kedua, diberlakukanya UU Otonomi daerah yakni UU No,22
tahun 1999 menggantikan UU No.5 tahun 1974.
Dengan
dihapuskannya Dwi fungsi ABRI, berakhirlah mekanisme kontrol dari negara.
Paradigma militer yang sebelumnya membuat peran Militer – BABINSA – di desa
dominan, menjadi tidak sekuat dulu. Peran Babinsa ditempatkan sebagi unsur
pertahanan dan tidak lagi sebagai unsur keamanan dan peran lainnya.( Annual
Report Lapera, 2002-2004)
Demikian juga
dengan digantikannya UU No.5 tahun 1979 dan UU No.5 tahun1974 dengan UU No.22
tahun 1999 (UU Otonomi Daerah), telah membuat Pemerintah Pusat tidak lagi
melakukan kontrol yang kuat terhadap Kabupaten dan Desa. Sebab, di dalam UU ini
pemerintah kabupaten dan kota telah mendapatkan wewenang yang lebih besar
mengatur rumah tangganya sendiri. Dengan demikian banyak wewenang pengaturan
desa yang dimiliki oleh pemerintah pusat didelegasikan ke pemerintahan
kabupaten. Artinya, rakyat desa akan lebih mudah untuk terlibat dalam setiap
proses kebijakan yang berkaiatn dengan kepentingannya sendiri.
Undang-undang
ini juga telah memberikan ruang otonomi desa tumbuh dan berkemabang, karena UU
ini telah mengakui hak asal-usul desa, dan tidak lagi menempatkan desa sebagai
wilayah administratif di bawah Kecamatan. Ruang otonomi desa inilah yang
kemudian diharapkan mampu menjadi jalan menuju demokratisasi desa yang demokratis.
Sebab dalam UU ini, hubungan kewenangan langsung antar desa dengan Kabupaten,
dengan memberikan hak pada desa untuk mempunyai posisi tawar dengan kabupaten.
Selain itu, Kepala Desa tidak lagi ditempatkan sebagai penguasa tunggal di
desa, karena UU baru ini, telah mendorong munculnya sebuah lembaga baru
yangberperan sebagai wadah perwakilan
warga desa, yaitu Badan Perwakilan Desa (BPD) atau dengan nama lain. Anggota
BPD ini dipilih secara langsung oleh warga desa dan posisinya sejajar dengan
Kepala Desa.
Keberadaan Badan
Perwakilan Desa (BPD) sebagai lembaga baru berada dalam posisi yang sangat
penting untuk mewujudkan demokratisasi desa kearah demokrasi desa, serta upaya
menuju desa yang otonom. Karena UU ini telah menempatkan BPD menjadi lembaga
yang berada pada posisi sejajar dengan keala desa. Dengan demikian Kepala Desa
tidak dapat lagi menjadi penguasa tunggal di desa. Sebagaimana yang dimuat
dalam pasal 36 UU No.22 tahun 1999 yang menyebutkan fungsi BPD adalah :
Pertama ; Mengayomi; yaitu menjaga adat istiadat yang hidup
dan berkembang sepanjang menunjang kelangsungan pembangunan. Kedua; Legislasi;
yaitu merumuskan dan menetapkan peraturan desa bersama-sama dengan pemerintah
desa. Ketiga; Pengawasan; yaitu meliputi pengawasan terhadap pelaksanaan peraturan
desa, anggaran belanja, serta keputusan kepala desa. Keempat; Menampung
aspirasi masyarakat; yaitu menangani dan menyalurkan aspirasi yang diterima
dari masyarakat kepada pejabat atau instansi yang berwenang.Dengan demikian keberadaan UU No.22 tahun 1999 telah memberikan peluang besar bagi demokratisasi dan partsipasi di internal desa dan antara desa dengan eksternal desa, Keberadaan lembaga BPD sebagai lembaga baru di desa menempati posisi yang sangat penting. Akan tetapi memang perlu disadari bahwa peluang ini tidak segera terwujud, sebab kita tidak dapat berharap perubahan kebijakan akan langsung mendadak pada perubahan watak dan kapasitas dari pelaksanaanya.